Dekontruksi Asas Personalitas Keislaman Dan Doktrin Stelsel Hukum Islam
(Integrasi Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Indonesia)
Oleh : Drs. H. Achmad Nurul Huda, MH.
A B S T R A K
Sistem Hukum Indonesia menganut prinsip yurisdiksi absolute yang membagi dan memisahkan kompetensi atau yurisdiksi peradilan dibawah Mahkamah Agung menjadi empat badan peradilan yaitu badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara (separation court system based on jurisdiction). Pemisahan yurisdiksi antar badan peradilan membawa konsekwensi pada atribusi kekuasaan yang berbeda-beda dan tertentu pada tiap-tiap badan peradilan (attributive competentie atau attributive jurisdiction). Jenis perkara tertentu yang merupakan kewenangan satu badan peradilan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah. Peradilan Agama hanya berwenang mengadili perkara orang Islam saja (asas personalitas keislaman) dan hanya boleh menggunakan Hukum Islam sebagai hukum material (doktrin stelsel Hukum Islam).
Sistem hukum Indonesia juga mengenal prinsip kepastian hukum dan prinsip keadilan hukum yang antara lain diwujudkan melalui penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Karena alasan menerapkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan maka penjelasan Pasal I Angka 37, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 melenturkan azas personalitas keislaman menjangkau orang non muslim atau badan hukum yang mengikatkan diri dalam akad/transaksi yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Demikian halnya Pasal I angka 38 Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, memberi kewenangan Peradilan Agama mengadili sengketa hak milik dan keperdataan lainnya sepanjang sengketa tersebut menjadi asesoir dalam pokok perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Pada tataran teoritis maupun praktis (teknis), perangkat peraturan perundang-undangan yang ada tidak cukup memadai untuk menjawab permasalahan yang timbul akibat pelenturan prinsip yurisdiksi absolut. Keadaan ini diperparah dengan metode pembacaan teks hukum oleh profesional hukum secara logosentris sebagai kebenaran tunggal, mutlak, absolut dan final yang memotret hukum adalah teks hukum. Penulis menawarkan pemikiran alternatif menggunakan metoda dekonstruksi untuk membuka ruang tidak terbatas membaca ulang dan menafsirkan teks hukum secara kontesktual dengan mempertimbangkan konstruksi sosial guna menemukan jawaban atas masalah-masalah yang muncul. Hasil dekonstruksi teks hukum tersebut adalah Peradilan Agama berwenang mengadili perkara orang non muslim dengan menggunakan Hukum Islam, Hukum Perdata, Hukum Adat atau Hukum Agama non Islam.
Selengkapnya KLIK DISINI
.