(021) 29079214
info@badilag.net

IMPLEMENTASI SEMA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2022 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANA TUGAS BAGI PENGADILAN

DALAM

MENURUNKAN ANGKA PERCERAIAN

PRESPEKTIF PEMIKIRAN ROSCOE POUND

DI PENGADILAN AGAMA DONGGALA

 

Oleh

Himawan Tatura Wijaya, S.H.I., M.H.

 

A.   PENDAHULUAN

Negaratidaklepastangandalammengatur warga  negaranya dalam hal perceraian.  Indonesia  mempunyai  Undang-Undang  Perkawinan  yangmemiliki asas   untuk   mempersulit   perceraian.   Perceraian   diatur   dalam   UndangUndang Perkawinan  No1Tahun  1974 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan,diharapkan  dengan  adanyaundang-undang  inimaka prosedur   perceraian   diperketat   dan  mengharuskan   perceraian   dilakukan   di  meja pengadilan.  Dengan  adanya  sistem  perceraian  di  pengadilan  maka  dapat  memberi tenggangwaktukepadaparapasangansuamiistri untukberfikirulangselamaproses perceraian.  Pasal  39  ayat  (1)  UU  Perkawinan  No  1  tahun  1974  yang  berbunyi Perceraianhanyadapatdilakukandi depanSidangPengadilansetelahPengadilanyang bersangkutan  berusaha  dantidakberhasilmendamaikan  keduabelahpihak.Pasal2 yaituuntukmelakukanperceraianharusadacukupalasanbahwaantarasuamiistriitu tidakakandapathiduprukunsebagaisuamiistri,sertaPasal3bahwadiaturdi dalam perundang-undangan  sendiri.Disiniperceraianhanyaterjadiapabiladipenuhialasan-alasantertentu  yangterdapatdidalamperundang-undangan  sertadilakukandidepan pengadilan.Pasal-pasaltersebutmerupakanasas mempersukar perceraiandalamrangkamencegah  seseoranguntukmenempuhlangkah perceraian,mengingatdi Indonesiaangkaperceraian menunjukkanpeningkatansetiaptahunnya.

Hukum perceraian dalam Islam sebenarnya tidak dilarang, namun Allah SWT membenci keputusan tersebut. Hal ini karena bercerai adalah pilihan terakhir yang bisa diambil jika memang tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Asal hukum cerai adalah makruh karena merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW, bersabda:

”Perbuatan halal, tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud).

Rasulullah bersabda, “Istri mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, maka aroma surga diharamkan baginya,” (Diriwayatkan seluruh penulis Sunan. Hadis ini shahih).

 

B.   PEMBAHASAN.

Mahkamah Agung dalam Surat Edarannya Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022, dalam Rumusan Hukum Kamar Agama, Angka 1 huruf a dan b:

b. Dalam upaya mempertahankan suatu perkawinan dan memenuhi prinsip mempersukar perceraian maka:

1) perkara perceraian dengan alasan suami / istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, hanya dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri tidak melaksanakan kewajibannya setelah minimal 12 (dua belas) bulan, atau

2) perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami/ istri berselisih dan bertengkar terus menerus atau telah berpisah tempat tinggal selama minimal 6 (enam) bulan.

Pelaksanaan hasil rumusan agama ini diperkuat dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 421 K/Ag/2023 dalam mengabulkan permohonan pemohon kasasi dengan alasan bahwa  permohonan  Pemohon  adalah  permohonan  cerai  talak dengan alasan pertengkaran,  sedangkan Pemohon dan Termohon pada saat pemeriksaan di Pengadilan Agama berpisah belum sampai 6 (enam) bulan, sehingga permohonan Pemohon belum memenuhi syarat formil untuk mengajukan permohonan cerai talak sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1   Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno  Kamar  Mahkamah Agung  Tahun  2022  Sebagai  Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dari SEMA tersebut Mahkamah Agung telah menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan asas Undang-Undang perkawinan yaitu mempertahankan perkawinan dan mempersukar perceraian.

Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu,  fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para  koleganya dari  Jerman.  Pound  menyatakan  bahwa  hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum  secara  bertahap  telah  menggantikan  fungsi agama  dan moralitas sebagai instrumen  penting  untuk  mencapai  ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk  melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal  atau  sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.[1] 

Pound  menyatakan  bahwa  kontrol  sosial diperlukan  untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan  dengan kaidah-kaidah ketertiban  sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk  untuk  melakukan fungsi itu.  Akan  tetapi,  Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan  agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.[2]

Pound mengatakan bahwa hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu,  “naturalisasi” untuk kepentingan  kontrol  sosial manakala  kekuatan  yang ditetapkan oleh  masyarakat  yang  terorganisasi tidak  lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai. Ia mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan  dengan itu,  Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tadi ke dalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial: Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.[3] 

Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering  (bahwa  hukum  adalah  alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat). Untuk dapat memenuhi peranannya, Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan  yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu kepentingan umum (public interest), kepentingan masyarakat  (social interest), dan   kepentingan   pribadi  (private interest). Kepentingan umum (public interest) meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dan penjaga kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat (social interest) meliputi kepentingan akan kedamaian dan  ketertiban;  perlindungan lembaga-lembaga sosial; pencegahan kemerosotan akhlak; pencegahan pelanggaran hak; dan kesejahteraan sosial. Kepentingan pribadi (private interest) meliputi kepentingan individu, keluarga, dan hak milik.[4] 

Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah  nilai-nilai sosial dalam  masyarakat. Dengan  disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja[5], konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang- undangan  dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan  pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.

Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop[6] dan policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan  sebagai sarana  pembaharuan  itu  dapat  berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan,  yurisprudensi juga  berperan  namun  tidak seberapa.  Agar  supaya dalam  pelaksanaan  perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya,  hendaknya   perundang-undangan   yang  dibentuk   itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence  yaitu  hukum  yang baik  hendaknya  sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.[7] Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan  tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang- undangan  yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan  penggunaan  koteka  di  Irian  Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya.[8]

Dalam  hal  ini dengan  adanya fungsi hukum  sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan  masyarakat sebagai pemimpin dari  satu  atau  lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial,[9] mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau sebagai alat rekayasa sosial.

Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan  yang telah  ditetapkan  sebelumnya.[10] Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar  Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata  tidak  efektif.[11] Gejala-gejala semacam itu  akan  timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu  yang menjadi halangan. Faktor- faktor  tersebut  dapat  berasal dari  pembentuk  hukum,  penegak hukum,  para  pencari  keadilan,  maupun  golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena  suatu  kelemahan  yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa  mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan  tersebut. Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak  hanya berhenti  pada pemilihan hukum  sebagai sarana saja tetapi  pengetahuan  yang mantap  tentang  sifat-sifat hukum  juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan,  sedangkan tujuan  menentukan  sarana-sarana mana  yang tepat untuk dipergunakan.

Hukum  di  dalam  masyarakat  modern  saat  ini  mempunyai ciri menonjol yaitu penggunaannya telah  dilakukan secara sadar oleh  masyarakatnya. Di  sini hukum  tidak  hanya  dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan  yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak  sesuai lagi, menciptakan  pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang  hukum  itu  yang menjurus  kepada  penggunaan  hukum sebagai instrument yaitu law as a tool social engineering.[12] 

Penggunaan secara sadar tadi yaitu penggunaan hukum sebagai sarana mengubah masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social engineering by the law.[13] Langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu, pertama, mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut. Kedua, memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social  engineering  itu  hendak  diterapkan  pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih. Ketiga, membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk  bisa dilaksanakan.  Keempat, mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.

Hukum  sebagai lembaga yang bekerja  di  dalam  masyarakat minimal memiliki 3 (tiga) perspektif dari fungsinya (fungsi hukum), yaitu:[14]  Pertama, sebagai kontrol sosial dari hukum yang merupakan salah satu dari konsep-konsep yang biasanya, paling banyak digunakan  dalam  studi-studi  kemasyarakatan.  Dalam  perspektif ini  fungsi utama  suatu  sistem hukum  bersifat integratif  karena dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara regulasi sosial dalam suatu sistem sosial. Oleh sebab itu dikatakan Bergers,[15] bahwa tidak ada masyarakat yang bisa hidup langgeng tanpa kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya. Selanjutnya menurut Parsons agar hukum dapat mengemban fungsi kontrol tersebut, mengemukakan ada 4 (empat) prasyarat fungsional dari suatu sistem hukum, yaitu masalah dasar legitimasi, yakni menyangkut  ideologi yang menjadi dasar penataan  aturan  hukum; masalah hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi hukum proses hukumnya; masalah sanksi dan lembaga yang menerapkan sanksi tersebut; dan masalah kewenangan penegakan aturan hukum.[16] 

Kedua  sebagai  social engineering   yang  merupakan   tinjauan yang paling banyak pergunakan oleh pejabat (the official perspective of the law) untuk  menggali sumber-sumber kekuasaan  apa  yang dapat  dimobilisasikan dengan menggunakan hukum sebagai mekanismenya. Mengikuti pandangan  penganjur perspective  social engineering by the law, oleh Satjipto Rahardjo,[17] dikemukakan adanya 4 (empat)  syarat utama  yang harus  dipenuhi  agar suatu  aturan hukum  dapat  mengarahkan  suatu masyarakat, yaitu dengan cara penggambaran yang baik dari suatu situasi yang dihadapi; analisa terhadap  penilaian-penilaian dan  menentukan  jenjang nilai-nilai; verifikasi dari hipotesis-hipotesis; dan adanya pengukuran terhadap efektivitas dari undang-undang yang berlaku.

Ketiga perspektif  emansipasi  masyarakat  terhadap   hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottoms up view of the law), hukum dalam perspektif ini meliputi obyek studi seperti misalnya kemampuan hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan lain sebagainya.

 

 

 

C.   ANALISIS.

Bila melihat ketiga perspektif dalam teori Law as a tool of sosial engineering, maka Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan  dapat digunakan sebagai salah satu bentuk aturan yang diberlakukan di Indonesia untuk menurunkan angka perceraian.

Pertama, hasil rumusan kamar agama  sebagai kontrol sosial yang merupakan salah satu dari konsep-konsep yang biasanya paling banyak digunakan dalam  studi-studi  hukum islam,  karena  masyarakat Indonesia mayoritas adalah agama Islam. Dalam perspektif ini fungsi utama dari hasil kamar agama secara integratif dimaksudkan untuk  mengatur dan memelihara regulasi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar umat muslim dalam suatu sistem hukum yang teregulasi dengan baik.

Pengadilan Agama Donggala melalui putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap antara lain: Putusan Nomor  403/Pdt.G/2023/PA.Dgl dan 358/Pdt.G/2023/PA.Dgl, telah menerapkan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat sebagaimana fakta dalam persidangan belum memenuhi syarat formil gugatan sebagaimana SEMA 1 tahun 2022 tentang pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 sebagai pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, yang menyatakan jika alasan perceraian karena persilisihan dan pertengkaran secara terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami isteri berselisih atau telah berpisah selama 6 (enam) bulan lamanya, sehingga gugatan mana belum memenuhi syarat formil untuk mengajukan gugatan sebagaimana Yrusiprudensi Mahkamah Agung putusan Nomor 421/K/AG/2023, maka oleh karena itu menurut majelis hakim patutlah perkara ini harus dinyatakan tidak dapat diterima;

Putusan-putusan yang menerapkan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, tentulah menarik perhatian civitas akademika untuk mengadakan tulisan ilmiah yang akan mengkaji lagi lebih dalam segala hal yang berkaitan dengan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan.

Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat. Salah satu alat yang krusial dalam proses ini adalah tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah memainkan peran sentral dalam perkembangan akademik dan riset di perguruan tinggi, serta memberikan manfaat yang besar bagi institusi pendidikan tersebut. Di antara fungsi tulisan ilmiah bagi perguruan tinggi sebagai berikut:

a.    Menyebarkan Pengetahuan: Tulisan ilmiah berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan pengetahuan yang dihasilkan oleh peneliti dan akademisi di perguruan tinggi. Melalui publikasi dalam tulisan ilmiah, hasil penelitian dan pemikiran ilmiah bisa diakses oleh komunitas ilmiah dan masyarakat secara luas. Penyebaran pengetahuan ini memperkaya literatur ilmiah dan membantu dalam memperluas cakupan keilmuan.

b.    Validasi Hasil Penelitian: Publikasi dalam tulisan ilmiah melibatkan proses peer review, di mana tulisan ilmiah dinilai oleh para pakar dan peneliti sesama. Proses ini membantu memastikan kualitas dan keandalan hasil penelitian. Validasi oleh ahli di bidang yang relevan memberikan legitimasi dan kepercayaan pada temuan penelitian, yang dapat meningkatkan reputasi institusi pendidikan.

c.     Meningkatkan Reputasi Institusi: Perguruan tinggi yang aktif dalam publikasi tulisan ilmiah memiliki reputasi yang lebih baik di kalangan komunitas ilmiah. Reputasi ini berkontribusi pada daya tarik bagi mahasiswa, peneliti, dan dosen potensial, serta dapat membantu dalam meningkatkan peringkat perguruan tinggi dalam skala nasional maupun internasional.

d.    Memfasilitasi Kolaborasi: Tulisan ilmiah menjadi saluran untuk kolaborasi antara peneliti dari berbagai institusi. Kolaborasi ini meningkatkan pertukaran pengetahuan dan pengalaman, memperluas wawasan, dan mendorong terciptanya penelitian interdisipliner yang lebih berkualitas.

e.    Dukungan Penerbitan Ilmiah: Penerbitan tulisan ilmiah merupakan salah satu sumber pendapatan bagi perguruan tinggi. Tulisan-tulisan yang diterbitkan secara mandiri atau oleh lembaga perguruan tinggi dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi keberlanjutan keuangan institusi tersebut.

f.      Akses Kepada Informasi Terbaru: Publikasi tulisan ilmiah memberikan akses terhadap informasi terbaru dan temuan terkini dalam berbagai bidang ilmu. Dosen dan mahasiswa dapat mengakses literatur ilmiah yang relevan dan mutakhir, yang mendukung proses pembelajaran dan penelitian mereka.

g.    Pengembangan Profesional: Tulisan ilmiah menjadi sarana bagi dosen dan peneliti untuk mengembangkan karier profesional mereka. Publikasi dalam tulisan bergengsi membantu dalam meningkatkan profil akademik, membuka kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan, serta meningkatkan peluang kerjasama dengan institusi dan peneliti lain.

h.    Tulisan ilmiah memiliki manfaat yang besar bagi perguruan tinggi. Dengan menyebarkan pengetahuan, memvalidasi hasil penelitian, meningkatkan reputasi institusi, dan mendukung kolaborasi, tulisan ilmiah menjadi pilar penting dalam perkembangan akademik dan riset di lingkungan perguruan tinggi. Melalui penerbitan dan partisipasi aktif dalam publikasi tulisan ilmiah, perguruan tinggi dapat memainkan peran sentral dalam memajukan ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dan dunia akademik.

Ketika terjadi intensitas kajian hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, maka dinamika perkembangan hukum Islam akan semakin pesat. Pusat-pusat kajian hukum Islam bertebaran di mana-mana, baik dilakukan oleh individu atau kelompok. Semakin dinamis sebuah ilmu dikaji, akan semakin cepat terjadinya aktualisasi hukum Islam. Karena penelitian-penelitian terhadap hukum Islam akan sering dilakukan dalam memediasi antara idealisme konsep dan teori dengan realitas masyarakat, yang kadangkala terjadi kesenjangan. Memang penelitian hukum Islam terus berlanjut seiring problematika masyarakat muslim. Semakin modern struktur masyarakat muslim akan semakin banyak dan komplek juga masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Problematika masyarakat ini harus di jawab dengan research (penelitian) untuk menemukan hal-hal baru merespon problematika yang terjadi. Maka dari itu upaya Mendinamisir penelitian hukum Islam  wujud aktualisasi Hukum Islam adalah sebuah keniscayaan.

 Upaya revitalisasi Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat dan  dinamisasi penelitian dalam bidang hukum Islam akan dapat mensinergikan beberapa komponen yang terlibat dalam institusionalisasi hukum Islam. Di antaranya perguruan tinggi  sebagai  elemen fabrikasi teori, masyarakat  sebagai wadah aktualisasi, juga lembaga terkait dengan hukum Islam. Misalnya lembaga advokat, peradilan, kementrian Agama, organisasi social kemasyarakatan. Semuanya bersatu menguatkan network nya dalam mengembangkan hukum Islam.  Dengan demikian Islam sebagai sebuah sistem keagamaan dan sosial akan tetap eksis dalam menjalankan fungsinya sebagai kekuatan yang diperhitungkan dalam menggerakkan dan merubah masyarakatnya (law enforcemen).

 Kedua, hasil  kamar agama sebagai sebagai social engineering  yang merupakan  tinjauan  bisa dipergunakan  oleh  pejabat  (the official perspective  of the law) untuk  menggali sumber-sumber kekuasaan apa yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan hasil kamar agama sebagai mekanismenya.

BP4yaitusuatulembaga  yangdibentukdalamrangka menunjang  tugas-tugas  Kementrian  Agama,  yakni  mitra  kerja  Kementrian  Agama dalammembina,megupayakandanmewujudkanrumahtanggayang sakinahmawaddah wa  rahmah.   Selain  itu  BP-4   juga  memberikan   penerangan,   penasehatan  tentang perkawinankepadapasanganpranikahdalammeningkatkanmutuperkawinan.

BP4   dalam   AD-ART-nya   mempunyai   tujuan   untuk   mempertinggi   mutu perkawinangunamewujudkankeluargasakinahmenurutajaranIslamuntuk mencapai masyarakatdanbangsaIndonesiayang maju,mandiri,bahagia,sejahtera,materildan spiritual.DimanavisiBP4adalah terwujudnyakeluargasakinahmawaddahwarahmah, sedangkanmisiBP4adalah:

1.    Meningkatkankualitaskonsultasiperkawinan,mediasidanadvokasi.

2.    Meningkatkan   pelayanan  terhadap   keluarga   bermasalah   melalu konseling, mediasidanadvokasi.

3.    Menguatkan  kapasitas  kelembagaan  danSDMdalamrangkamengoptimalkan programdalampencapaiantujuan.

Idealnyalembagaini berperansebagaimediatoratausebagailembaga penasehat pernikahan  ketika  pasangan  suami  istri  mengalami  permasalahan  perkawinan  dan berniat  bercerai. BP4  mempertemukan  pasangan  yang  akan  melakukan  perceraian dalamsebuahforumgunamengetahuiduduk perkarayangsebenarnyadan BP4 memberikannasehat-nasehatyang disesuaikandenganmasalahyangmenyebabkan pasanganmemutuskanakan bercerai.SelanjutnyapihakBP4memberiwaktusatubulan untukmemperbaikilagirumahtanggapasangantersebut.Pasanganakanberdamaiatau tidakjadiberceraijikanasehatyangdiberikanBP4dapatdilaksanankandenganbaik tapi dapatjugasebaliknya.  BP4sebagaimediatormenyerahkankeputusankepadapara pihakyanginginbercerai.Di siniBP4hanyamembuatkansuratpengantaruntuk mengajukan  perceraian  diPengadilan  Agama  apabila  para  pihak  tetap  berkeinginan untukmelaksanakanperceraian.

Akantetapi eksistensi  BP4relatiftidak termanfaatkan,Indikatoryang palingmudahadalahketidaktahuansebagian besarcalon pasangan  suami  istritentang  keberadaan  serta  fungsi  dariBP4,  padahal  status  BP-4 sampaisaatini masihlegalformal.Padaumumnyamasyarakat yang maubercerai tidakmengetahui keberadaan   BP4   dapat   memfasilitasi   penyelesaian   masalah   perkawinan   mereka, sehingga  mereka  tidak  mendatangi  lembaga  tersebut  ketika  kehidupan  perkawinan beradadiujungtandukperceraian.  Merekamenyelesaikansendiri denganpasangandan jika  tidak  terdapat  jalan  keluar  dari  masalah  sehingga  keputusan  bercerai  diambil barulahdiberitahukankepadaorangtuadansanakkeluargalainnya.Selanjutnyasalah satudaripasangansuamiistriakanmengajukanataumendaftarkanperkaraperceraian kePengadilanAgamasetempatuntuk mendapatkankartukuningsebagai wujudsahnya perceraiansecarahukumnegara.Jadimasyarakatlebih cenderunguntukmenyelesaikan permasalahannyadenganjalanpintasdan cepat,tanpamenggunakanjasakepenasehatan (BP4).KUAhanyamendapattembusanaktacerai setelahPengadilanAgama mengeluarkan   keputusan  atas  berceraianya  pasangan  suami  istri. Padahal  secara peraturan,PengadilanAgamaakanmemprosesperkaraperceraian  yangdiajukanjika sudahmelewatiproseskonsultasiperkawinandi lembagaBP4danmendapatkansurat rekomendasidariBP4.

Salah satuupayapemerintahdalammencegahperceraiandalamrangkamenekan angka  perceraian  itu  sendiri  adalah  melalui  pelaksanaan  proses  mediasi.  Mediasi dilakukankepadasetiappasanganyangmengajukangugatanperceraiandi Pengadilan Agama.  Pengadilan  Agama  memberlakukan  sistem  mediasi  kepada  setiap  pasangan yanginginbercerai.  MediasidiaturdalamPeraturanMahkamahAgungNo1Tahun 2016,berisitentangprosedurmediasidi pengadilanuntuk mengurangiangkaperceraiandi Indonesiadengan upayadamaisehinggamengurangi penumpukanperkaradipengadilan. Perma  inimewajibkan dilakukan  proses  mediasi  kepadasemuaperkara  perdatayangdiajukankepengadilan tingkatpertama.

Dalamhalini Hakimsebagaimediatordalamprosesmediasiharusmempunyai sertifikatmediatordan harusbersifatnetral.Mediatordiharapkandapatmendorongdan memfasilitasi  dialogpasangansuamiistriuntukberkomunikasi,  menasehatipasangan suamiistri, memberipandangan tentangakibatdari perceraian,membantumeluruskan perbedaan  pandangan,  membantu  mengklarifikasi  kebutuhan  pasangan  serta memberikanpenawaranjalankeluarmasalahmerekaselainperceraiandan mampu berkomunikasi  denganbaikmemakai  bahasa  yangsederhana  agarmunculkeinginan pasanganuntukkembalirujuk.Prosesmediasidapat diperpanjangapabilamediator menilaipara pihakmempunyaikesempatanbesaruntukdidamaikan.

Penyelesaian perkara melalui mediasi hanya dapat ditempuh apabila kedua  pihak hadir di persidangan baik secara pribadi maupun melalui wakilnya, sedangkan perkara perceraian yang mendominasi di Pengadilan Agama adalah yang dihadiri oleh salah satu pihak saja, sehingga Perma Nomor 1 Tahun  2016 tentang mediasi tidak dapat berbuat banyak di perkara perceraian yang hanya dihadiri oleh salah satu pihak saja.

Dengan adanya hasil rumusan agama a quo  diharapkan dapat menurunkan angka perceraian, minimal mengeliminasi  perkara perceraian dengan waktu pisah di bawah 6 (enam) bulan.

Ketiga, perspektif emansipasi masyarakat Islam di  Indonesia terhadap  hukum   (budaya  hukum).   Perspektif  ini  merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottoms up view of the law), hukum dalam perspektif ini meliputi obyek studi seperti misalnya kemampuan hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan lain sebagainya.

Melalui penerapan prinsip law as a tool of social engineering, beberapa negara berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan budaya hukum masyarakatnya menjadi demokratis dan menjunjung tinggi HAM tanpa mengingkari kenyataan dan prinsip legalitas dan menjadikan segala fakta filosofis, sosialogis, yuridis yang ada dalam sejarah sebagai modal untuk membangun hukum modernnya. Dengan demikian, membangun budaya hukum dimulai dari lingkup keluarga berarti memberi landasan pola pikir, karakter dan budaya disiplin dan tertib bagi anggota keluarga tersebut. Pada gilirannya, budaya hukum ini merupakan kebutuhan hidup dan menjadi kebiasaan tanpa ada rasa paksaan dan rasa diintimidasi. Pada dasarnya selain berbudaya hukum, masyarakat juga harus diarahkan menjadi masyarakat cerdas hukum. Masyarakat cerdas hukum merupakan masyarakat yang memahami hukum secara komprehensif, yang terkait dengan hak dan kewajibannya. Mengetahui kebolehan-kebolehan dan larangan-larangan, memahami keuntungan dan resiko apa saja yang akan dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya. Teliti dan cermat, dalam mengambil langkah-langkah dan tidakan-tindakan hukum, mampu menjauhi segala perbuatan yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum. Kemampuan menghindari perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum adalah salah satu wujud kecerdasan hukum masyarakat, sebab seringkali logika tidak bisa lagi diandalkan ketika sesorang yang tidak berniat sama sekali untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan yang lebih serius tetapi kemudian melakukannya karena dalam keadaan tertekan oleh perasaan dan ketakutannya yang dapat datang tiba-tiba. Unsur lain kecerdasan hukum masyarakat adalah kemampuan untuk berperan serta dalam upaya mewujudkan Negara hukum yang demokratis, melalui kontribusi pemikiran dalam rangka pembangunan hukum nasional, sehingga hukum yang dibuat benar-benar dapat mencerminkan nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.

Penyuluhan hukum adalah bagian dari pembangunan hukum di bidang budaya hukum sebagai salah satu elemen penting dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu pula, seluruh aktivitas yang terkait dengan kegiatan penyuluhan hukum harus mengacu kepada kebijakan pembangunan hukum yang ada.

Pengadilan Agama Donggala melalui Inovasi Layanan Keliling Pengadilan Agama Donggala Menyapa (LINK PALALA) yang merupakan rangkaian kegiatan pelayanan kepada masyarakat bukan saja sidang keliling tetapi juga memberikan informasi, konsultasi hukum dan penyerahan produk yang dikemas dalam satu misi justice for all. Layanan ini pertama kalinya dilaksanakan dan diperkenalkan kepada masyarakat. Melalui inovasi ini, masyarakat yang berdomisili di wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Donggala dapat memperoleh informasi-informasi terkait bagaimana berperkara di Pengadilan Agama. Melalui inovasi ini Pengadilan Agama Donggala juga mensosialisasikan rumusan hasil kamar agama sebagaimana pembahasan di atas.

 

A.   REFERENSI

 

Berger,PeterL.InvitationtoSociologi:AHumanisticProspective,Terj. Daniel Dhakidae.Jakarta:IntiSaranaAksara, 1992.

Campbell,Tom.TujuhTeoriSosial(Sketsa,PenilaiandanPerbandingan),Yogyakarta:Kanisius,1994.

Dirksen,AA  NGede.Pengantar  IlmuHukum.  FakultasHukum UniversitasUdayana, 2009.

Kusumaatmadja,Mochtar.Hukum,Masyarakat,danPembangunan. Bandung:BinaCipta,1990.

Rahardjo,Satjipto.IlmuHukum(Cet.  Keenam),Bandung:Citra AdityaBakti,2006.

Rasjidi,Lili danIraThania  Rasjidi.Dasar-dasarFilsafatdanTeori Hukum.Bandung:CitraAdityaBakti,2007.

Rasjidi,Lilidan  Ira  Thania  Rasjidi.Pengantar  FilsafatHukum. Bandung:MandarMaju,2002.

Rahardjo,Satjipto.PemanfaatanIlmuSosialBagiPengembanganIlmu Hukum, Bandung, Alumni, 1977.

[1] LiliRasjididanIraThaniaRasjidi, Dasar-dasarFilsafatdanTeoriHukum(Bandung: CitraAdityaBakti,2007), 74.

[2] Ibid.

[3] Ibid, 75

[4] SatjiptoRaharjo, IlmuHukum (Bandung: CitraAdityaBakti,2006), 206.

[5] Mochtar   Kusumaatmadja,  Hukum,  Masyarakat,dan  Pembangunan(Bandung: Binacipta,1990), 10.

[6] Ibid,

 [7] LiliRasjididanIraThania  Rasjidi, Pengantar  FilsafatHukum(Bandung:Mandar Maju,2002), 74.

 

[8] Ibid.

 [9] AAN GedeDirksen,PengantarIlmuHukum, (DiktatUntukKalanganSendiriTidak Diperdagangkan FakultasHukumUniversitasUdayana, 2009) 89.

[10] SoerjonoSoekanto,Pokok-Pokok  SosiologiHukum(Jakarta:RajawaliPers,2009), 135

[11] Ibid.

[12] Raharjo, Ilmu Hukum, 206

[13] Ibid.

[14] A.  G.  Peters  dalam  Ronny  Hanitijo  Soemitro, ,  StudyHukum  danMasyarakat (Bandung: Alumni, 1998), 10.

[15] PeterL.Berger,InvitationtoSociologi:AHumanisticProspective,Terj.Daniel Dhakidae(Jakarta:IntiSaranaAksara,1992), 98.

[16] TomCampbell,TujuhTeoriSosial(Sketsa,PenilaiandanPerbandingan), (Yogyakarta: Kanisius,1994), 220-230.

[17] Satjipto  Rahardjo.  PemanfaatanIlmu  SosialBagiPengembangan   Ilmu  Hukum (Bandung: Alumni, 1977), 66.