IMPLEMENTASI SEMA NOMOR 1 TAHUN 2022 TENTANG RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2022 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANA TUGAS BAGI PENGADILAN
DALAM
MENURUNKAN ANGKA PERCERAIAN
PRESPEKTIF PEMIKIRAN ROSCOE POUND
DI PENGADILAN AGAMA DONGGALA
Oleh
Himawan Tatura Wijaya, S.H.I., M.H.
A. PENDAHULUAN
Negaratidaklepastangandalammengatur warga negaranya dalam hal perceraian. Indonesia mempunyai Undang-Undang Perkawinan yangmemiliki asas untuk mempersulit perceraian. Perceraian diatur dalam Undang–Undang Perkawinan No1Tahun 1974 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan,diharapkan dengan adanyaundang-undang inimaka prosedur perceraian diperketat dan mengharuskan perceraian dilakukan di meja pengadilan. Dengan adanya sistem perceraian di pengadilan maka dapat memberi tenggangwaktukepadaparapasangansuamiistri untukberfikirulangselamaproses perceraian. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No 1 tahun 1974 yang berbunyi “Perceraianhanyadapatdilakukandi depanSidangPengadilansetelahPengadilanyang bersangkutan berusaha dantidakberhasilmendamaikan keduabelahpihak”.Pasal2 yaituuntukmelakukanperceraianharusadacukupalasanbahwaantarasuamiistriitu tidakakandapathiduprukunsebagaisuamiistri,sertaPasal3bahwadiaturdi dalam perundang-undangan sendiri.Disiniperceraianhanyaterjadiapabiladipenuhialasan-alasantertentu yangterdapatdidalamperundang-undangan sertadilakukandidepan pengadilan.Pasal-pasaltersebutmerupakanasas mempersukar perceraiandalamrangkamencegah seseoranguntukmenempuhlangkah perceraian,mengingatdi Indonesiaangkaperceraian menunjukkanpeningkatansetiaptahunnya.
Hukum perceraian dalam Islam sebenarnya tidak dilarang, namun Allah SWT membenci keputusan tersebut. Hal ini karena bercerai adalah pilihan terakhir yang bisa diambil jika memang tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangga. Asal hukum cerai adalah makruh karena merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW, bersabda:
”Perbuatan halal, tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud).
Rasulullah bersabda, “Istri mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, maka aroma surga diharamkan baginya,” (Diriwayatkan seluruh penulis Sunan. Hadis ini shahih).
B. PEMBAHASAN.
Mahkamah Agung dalam Surat Edarannya Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022, dalam Rumusan Hukum Kamar Agama, Angka 1 huruf a dan b:
b. Dalam upaya mempertahankan suatu perkawinan dan memenuhi prinsip mempersukar perceraian maka:
1) perkara perceraian dengan alasan suami / istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, hanya dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri tidak melaksanakan kewajibannya setelah minimal 12 (dua belas) bulan, atau
2) perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami/ istri berselisih dan bertengkar terus menerus atau telah berpisah tempat tinggal selama minimal 6 (enam) bulan.
Pelaksanaan hasil rumusan agama ini diperkuat dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 421 K/Ag/2023 dalam mengabulkan permohonan pemohon kasasi dengan alasan bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan cerai talak dengan alasan pertengkaran, sedangkan Pemohon dan Termohon pada saat pemeriksaan di Pengadilan Agama berpisah belum sampai 6 (enam) bulan, sehingga permohonan Pemohon belum memenuhi syarat formil untuk mengajukan permohonan cerai talak sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dari SEMA tersebut Mahkamah Agung telah menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan asas Undang-Undang perkawinan yaitu mempertahankan perkawinan dan mempersukar perceraian.
Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.[1]
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.[2]
Pound mengatakan bahwa hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu, “naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai. Ia mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan dengan itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tadi ke dalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial: Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.[3]
Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat). Untuk dapat memenuhi peranannya, Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu kepentingan umum (public interest), kepentingan masyarakat (social interest), dan kepentingan pribadi (private interest). Kepentingan umum (public interest) meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum dan penjaga kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat (social interest) meliputi kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; perlindungan lembaga-lembaga sosial; pencegahan kemerosotan akhlak; pencegahan pelanggaran hak; dan kesejahteraan sosial. Kepentingan pribadi (private interest) meliputi kepentingan individu, keluarga, dan hak milik.[4]
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja[5], konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang- undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.
Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop[6] dan policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.[7] Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundang- undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya.[8]
Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial,[9] mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau sebagai alat rekayasa sosial.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.[10] Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif.[11] Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor- faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrument yaitu law as a tool social engineering.[12]
Penggunaan secara sadar tadi yaitu penggunaan hukum sebagai sarana mengubah masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social engineering by the law.[13] Langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu, pertama, mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut. Kedua, memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih. Ketiga, membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan. Keempat, mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Hukum sebagai lembaga yang bekerja di dalam masyarakat minimal memiliki 3 (tiga) perspektif dari fungsinya (fungsi hukum), yaitu:[14] Pertama, sebagai kontrol sosial dari hukum yang merupakan salah satu dari konsep-konsep yang biasanya, paling banyak digunakan dalam studi-studi kemasyarakatan. Dalam perspektif ini fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif karena dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara regulasi sosial dalam suatu sistem sosial. Oleh sebab itu dikatakan Bergers,[15] bahwa tidak ada masyarakat yang bisa hidup langgeng tanpa kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya. Selanjutnya menurut Parsons agar hukum dapat mengemban fungsi kontrol tersebut, mengemukakan ada 4 (empat) prasyarat fungsional dari suatu sistem hukum, yaitu masalah dasar legitimasi, yakni menyangkut ideologi yang menjadi dasar penataan aturan hukum; masalah hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi hukum proses hukumnya; masalah sanksi dan lembaga yang menerapkan sanksi tersebut; dan masalah kewenangan penegakan aturan hukum.[16]
Kedua sebagai social engineering yang merupakan tinjauan yang paling banyak pergunakan oleh pejabat (the official perspective of the law) untuk menggali sumber-sumber kekuasaan apa yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan hukum sebagai mekanismenya. Mengikuti pandangan penganjur perspective social engineering by the law, oleh Satjipto Rahardjo,[17] dikemukakan adanya 4 (empat) syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat mengarahkan suatu masyarakat, yaitu dengan cara penggambaran yang baik dari suatu situasi yang dihadapi; analisa terhadap penilaian-penilaian dan menentukan jenjang nilai-nilai; verifikasi dari hipotesis-hipotesis; dan adanya pengukuran terhadap efektivitas dari undang-undang yang berlaku.
Ketiga perspektif emansipasi masyarakat terhadap hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottoms up view of the law), hukum dalam perspektif ini meliputi obyek studi seperti misalnya kemampuan hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan lain sebagainya.
C. ANALISIS.
Bila melihat ketiga perspektif dalam teori Law as a tool of sosial engineering, maka Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan dapat digunakan sebagai salah satu bentuk aturan yang diberlakukan di Indonesia untuk menurunkan angka perceraian.
Pertama, hasil rumusan kamar agama sebagai kontrol sosial yang merupakan salah satu dari konsep-konsep yang biasanya paling banyak digunakan dalam studi-studi hukum islam, karena masyarakat Indonesia mayoritas adalah agama Islam. Dalam perspektif ini fungsi utama dari hasil kamar agama secara integratif dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara regulasi sosial masyarakat Indonesia yang sebagian besar umat muslim dalam suatu sistem hukum yang teregulasi dengan baik.
Pengadilan Agama Donggala melalui putusannya yang telah berkekuatan hukum tetap antara lain: Putusan Nomor 403/Pdt.G/2023/PA.Dgl dan 358/Pdt.G/2023/PA.Dgl, telah menerapkan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat sebagaimana fakta dalam persidangan belum memenuhi syarat formil gugatan sebagaimana SEMA 1 tahun 2022 tentang pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 sebagai pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, yang menyatakan jika alasan perceraian karena persilisihan dan pertengkaran secara terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami isteri berselisih atau telah berpisah selama 6 (enam) bulan lamanya, sehingga gugatan mana belum memenuhi syarat formil untuk mengajukan gugatan sebagaimana Yrusiprudensi Mahkamah Agung putusan Nomor 421/K/AG/2023, maka oleh karena itu menurut majelis hakim patutlah perkara ini harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Putusan-putusan yang menerapkan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, tentulah menarik perhatian civitas akademika untuk mengadakan tulisan ilmiah yang akan mengkaji lagi lebih dalam segala hal yang berkaitan dengan Sema Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan.
Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat. Salah satu alat yang krusial dalam proses ini adalah tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah memainkan peran sentral dalam perkembangan akademik dan riset di perguruan tinggi, serta memberikan manfaat yang besar bagi institusi pendidikan tersebut. Di antara fungsi tulisan ilmiah bagi perguruan tinggi sebagai berikut:
a. Menyebarkan Pengetahuan: Tulisan ilmiah berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan pengetahuan yang dihasilkan oleh peneliti dan akademisi di perguruan tinggi. Melalui publikasi dalam tulisan ilmiah, hasil penelitian dan pemikiran ilmiah bisa diakses oleh komunitas ilmiah dan masyarakat secara luas. Penyebaran pengetahuan ini memperkaya literatur ilmiah dan membantu dalam memperluas cakupan keilmuan.
b. Validasi Hasil Penelitian: Publikasi dalam tulisan ilmiah melibatkan proses peer review, di mana tulisan ilmiah dinilai oleh para pakar dan peneliti sesama. Proses ini membantu memastikan kualitas dan keandalan hasil penelitian. Validasi oleh ahli di bidang yang relevan memberikan legitimasi dan kepercayaan pada temuan penelitian, yang dapat meningkatkan reputasi institusi pendidikan.
c. Meningkatkan Reputasi Institusi: Perguruan tinggi yang aktif dalam publikasi tulisan ilmiah memiliki reputasi yang lebih baik di kalangan komunitas ilmiah. Reputasi ini berkontribusi pada daya tarik bagi mahasiswa, peneliti, dan dosen potensial, serta dapat membantu dalam meningkatkan peringkat perguruan tinggi dalam skala nasional maupun internasional.
d. Memfasilitasi Kolaborasi: Tulisan ilmiah menjadi saluran untuk kolaborasi antara peneliti dari berbagai institusi. Kolaborasi ini meningkatkan pertukaran pengetahuan dan pengalaman, memperluas wawasan, dan mendorong terciptanya penelitian interdisipliner yang lebih berkualitas.
e. Dukungan Penerbitan Ilmiah: Penerbitan tulisan ilmiah merupakan salah satu sumber pendapatan bagi perguruan tinggi. Tulisan-tulisan yang diterbitkan secara mandiri atau oleh lembaga perguruan tinggi dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi keberlanjutan keuangan institusi tersebut.
f. Akses Kepada Informasi Terbaru: Publikasi tulisan ilmiah memberikan akses terhadap informasi terbaru dan temuan terkini dalam berbagai bidang ilmu. Dosen dan mahasiswa dapat mengakses literatur ilmiah yang relevan dan mutakhir, yang mendukung proses pembelajaran dan penelitian mereka.
g. Pengembangan Profesional: Tulisan ilmiah menjadi sarana bagi dosen dan peneliti untuk mengembangkan karier profesional mereka. Publikasi dalam tulisan bergengsi membantu dalam meningkatkan profil akademik, membuka kesempatan untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan, serta meningkatkan peluang kerjasama dengan institusi dan peneliti lain.
h. Tulisan ilmiah memiliki manfaat yang besar bagi perguruan tinggi. Dengan menyebarkan pengetahuan, memvalidasi hasil penelitian, meningkatkan reputasi institusi, dan mendukung kolaborasi, tulisan ilmiah menjadi pilar penting dalam perkembangan akademik dan riset di lingkungan perguruan tinggi. Melalui penerbitan dan partisipasi aktif dalam publikasi tulisan ilmiah, perguruan tinggi dapat memainkan peran sentral dalam memajukan ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dan dunia akademik.
Ketika terjadi intensitas kajian hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, maka dinamika perkembangan hukum Islam akan semakin pesat. Pusat-pusat kajian hukum Islam bertebaran di mana-mana, baik dilakukan oleh individu atau kelompok. Semakin dinamis sebuah ilmu dikaji, akan semakin cepat terjadinya aktualisasi hukum Islam. Karena penelitian-penelitian terhadap hukum Islam akan sering dilakukan dalam memediasi antara idealisme konsep dan teori dengan realitas masyarakat, yang kadangkala terjadi kesenjangan. Memang penelitian hukum Islam terus berlanjut seiring problematika masyarakat muslim. Semakin modern struktur masyarakat muslim akan semakin banyak dan komplek juga masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. Problematika masyarakat ini harus di jawab dengan research (penelitian) untuk menemukan hal-hal baru merespon problematika yang terjadi. Maka dari itu upaya Mendinamisir penelitian hukum Islam wujud aktualisasi Hukum Islam adalah sebuah keniscayaan.
Upaya revitalisasi Hukum Islam di tengah-tengah masyarakat dan dinamisasi penelitian dalam bidang hukum Islam akan dapat mensinergikan beberapa komponen yang terlibat dalam institusionalisasi hukum Islam. Di antaranya perguruan tinggi sebagai elemen fabrikasi teori, masyarakat sebagai wadah aktualisasi, juga lembaga terkait dengan hukum Islam. Misalnya lembaga advokat, peradilan, kementrian Agama, organisasi social kemasyarakatan. Semuanya bersatu menguatkan network nya dalam mengembangkan hukum Islam. Dengan demikian Islam sebagai sebuah sistem keagamaan dan sosial akan tetap eksis dalam menjalankan fungsinya sebagai kekuatan yang diperhitungkan dalam menggerakkan dan merubah masyarakatnya (law enforcemen).
Kedua, hasil kamar agama sebagai sebagai social engineering yang merupakan tinjauan bisa dipergunakan oleh pejabat (the official perspective of the law) untuk menggali sumber-sumber kekuasaan apa yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan hasil kamar agama sebagai mekanismenya.
BP4yaitusuatulembaga yangdibentukdalamrangka menunjang tugas-tugas Kementrian Agama, yakni mitra kerja Kementrian Agama dalammembina,megupayakandanmewujudkanrumahtanggayang sakinahmawaddah wa rahmah. Selain itu BP-4 juga memberikan penerangan, penasehatan tentang perkawinankepadapasanganpranikahdalammeningkatkanmutuperkawinan.
BP4 dalam AD-ART-nya mempunyai tujuan untuk mempertinggi mutu perkawinangunamewujudkankeluargasakinahmenurutajaranIslamuntuk mencapai masyarakatdanbangsaIndonesiayang maju,mandiri,bahagia,sejahtera,materildan spiritual.DimanavisiBP4adalah terwujudnyakeluargasakinahmawaddahwarahmah, sedangkanmisiBP4adalah:
1. Meningkatkankualitaskonsultasiperkawinan,mediasidanadvokasi.
2. Meningkatkan pelayanan terhadap keluarga bermasalah melalu konseling, mediasidanadvokasi.
3. Menguatkan kapasitas kelembagaan danSDMdalamrangkamengoptimalkan programdalampencapaiantujuan.
Idealnyalembagaini berperansebagaimediatoratausebagailembaga penasehat pernikahan ketika pasangan suami istri mengalami permasalahan perkawinan dan berniat bercerai. BP4 mempertemukan pasangan yang akan melakukan perceraian dalamsebuahforumgunamengetahuiduduk perkarayangsebenarnyadan BP4 memberikannasehat-nasehatyang disesuaikandenganmasalahyangmenyebabkan pasanganmemutuskanakan bercerai.SelanjutnyapihakBP4memberiwaktusatubulan untukmemperbaikilagirumahtanggapasangantersebut.Pasanganakanberdamaiatau tidakjadiberceraijikanasehatyangdiberikanBP4dapatdilaksanankandenganbaik tapi dapatjugasebaliknya. BP4sebagaimediatormenyerahkankeputusankepadapara pihakyanginginbercerai.Di siniBP4hanyamembuatkansuratpengantaruntuk mengajukan perceraian diPengadilan Agama apabila para pihak tetap berkeinginan untukmelaksanakanperceraian.
Akantetapi eksistensi BP4relatiftidak termanfaatkan,Indikatoryang palingmudahadalahketidaktahuansebagian besarcalon pasangan suami istritentang keberadaan serta fungsi dariBP4, padahal status BP-4 sampaisaatini masihlegalformal.Padaumumnyamasyarakat yang maubercerai tidakmengetahui keberadaan BP4 dapat memfasilitasi penyelesaian masalah perkawinan mereka, sehingga mereka tidak mendatangi lembaga tersebut ketika kehidupan perkawinan beradadiujungtandukperceraian. Merekamenyelesaikansendiri denganpasangandan jika tidak terdapat jalan keluar dari masalah sehingga keputusan bercerai diambil barulahdiberitahukankepadaorangtuadansanakkeluargalainnya.Selanjutnyasalah satudaripasangansuamiistriakanmengajukanataumendaftarkanperkaraperceraian kePengadilanAgamasetempatuntuk mendapatkankartukuningsebagai wujudsahnya perceraiansecarahukumnegara.Jadimasyarakatlebih cenderunguntukmenyelesaikan permasalahannyadenganjalanpintasdan cepat,tanpamenggunakanjasakepenasehatan (BP4).KUAhanyamendapattembusanaktacerai setelahPengadilanAgama mengeluarkan keputusan atas berceraianya pasangan suami istri. Padahal secara peraturan,PengadilanAgamaakanmemprosesperkaraperceraian yangdiajukanjika sudahmelewatiproseskonsultasiperkawinandi lembagaBP4danmendapatkansurat rekomendasidariBP4.
Salah satuupayapemerintahdalammencegahperceraiandalamrangkamenekan angka perceraian itu sendiri adalah melalui pelaksanaan proses mediasi. Mediasi dilakukankepadasetiappasanganyangmengajukangugatanperceraiandi Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memberlakukan sistem mediasi kepada setiap pasangan yanginginbercerai. MediasidiaturdalamPeraturanMahkamahAgungNo1Tahun 2016,berisitentangprosedurmediasidi pengadilanuntuk mengurangiangkaperceraiandi Indonesiadengan upayadamaisehinggamengurangi penumpukanperkaradipengadilan. Perma inimewajibkan dilakukan proses mediasi kepadasemuaperkara perdatayangdiajukankepengadilan tingkatpertama.
Dalamhalini Hakimsebagaimediatordalamprosesmediasiharusmempunyai sertifikatmediatordan harusbersifatnetral.Mediatordiharapkandapatmendorongdan memfasilitasi dialogpasangansuamiistriuntukberkomunikasi, menasehatipasangan suamiistri, memberipandangan tentangakibatdari perceraian,membantumeluruskan perbedaan pandangan, membantu mengklarifikasi kebutuhan pasangan serta memberikanpenawaranjalankeluarmasalahmerekaselainperceraiandan mampu berkomunikasi denganbaikmemakai bahasa yangsederhana agarmunculkeinginan pasanganuntukkembalirujuk.Prosesmediasidapat diperpanjangapabilamediator menilaipara pihakmempunyaikesempatanbesaruntukdidamaikan.
Penyelesaian perkara melalui mediasi hanya dapat ditempuh apabila kedua pihak hadir di persidangan baik secara pribadi maupun melalui wakilnya, sedangkan perkara perceraian yang mendominasi di Pengadilan Agama adalah yang dihadiri oleh salah satu pihak saja, sehingga Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi tidak dapat berbuat banyak di perkara perceraian yang hanya dihadiri oleh salah satu pihak saja.
Dengan adanya hasil rumusan agama a quo diharapkan dapat menurunkan angka perceraian, minimal mengeliminasi perkara perceraian dengan waktu pisah di bawah 6 (enam) bulan.
Ketiga, perspektif emansipasi masyarakat Islam di Indonesia terhadap hukum (budaya hukum). Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottoms up view of the law), hukum dalam perspektif ini meliputi obyek studi seperti misalnya kemampuan hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan lain sebagainya.
Melalui penerapan prinsip law as a tool of social engineering, beberapa negara berhasil mengubah pola pikir, karakter, dan budaya hukum masyarakatnya menjadi demokratis dan menjunjung tinggi HAM tanpa mengingkari kenyataan dan prinsip legalitas dan menjadikan segala fakta filosofis, sosialogis, yuridis yang ada dalam sejarah sebagai modal untuk membangun hukum modernnya. Dengan demikian, membangun budaya hukum dimulai dari lingkup keluarga berarti memberi landasan pola pikir, karakter dan budaya disiplin dan tertib bagi anggota keluarga tersebut. Pada gilirannya, budaya hukum ini merupakan kebutuhan hidup dan menjadi kebiasaan tanpa ada rasa paksaan dan rasa diintimidasi. Pada dasarnya selain berbudaya hukum, masyarakat juga harus diarahkan menjadi masyarakat cerdas hukum. Masyarakat cerdas hukum merupakan masyarakat yang memahami hukum secara komprehensif, yang terkait dengan hak dan kewajibannya. Mengetahui kebolehan-kebolehan dan larangan-larangan, memahami keuntungan dan resiko apa saja yang akan dialami terkait perbuatan hukum yang dilakukannya. Teliti dan cermat, dalam mengambil langkah-langkah dan tidakan-tindakan hukum, mampu menjauhi segala perbuatan yang dapat menimbulkan pelanggaran hukum. Kemampuan menghindari perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum adalah salah satu wujud kecerdasan hukum masyarakat, sebab seringkali logika tidak bisa lagi diandalkan ketika sesorang yang tidak berniat sama sekali untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan yang lebih serius tetapi kemudian melakukannya karena dalam keadaan tertekan oleh perasaan dan ketakutannya yang dapat datang tiba-tiba. Unsur lain kecerdasan hukum masyarakat adalah kemampuan untuk berperan serta dalam upaya mewujudkan Negara hukum yang demokratis, melalui kontribusi pemikiran dalam rangka pembangunan hukum nasional, sehingga hukum yang dibuat benar-benar dapat mencerminkan nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.
Penyuluhan hukum adalah bagian dari pembangunan hukum di bidang budaya hukum sebagai salah satu elemen penting dalam sistem hukum nasional. Oleh karena itu pula, seluruh aktivitas yang terkait dengan kegiatan penyuluhan hukum harus mengacu kepada kebijakan pembangunan hukum yang ada.
Pengadilan Agama Donggala melalui Inovasi Layanan Keliling Pengadilan Agama Donggala Menyapa (LINK PALALA) yang merupakan rangkaian kegiatan pelayanan kepada masyarakat bukan saja sidang keliling tetapi juga memberikan informasi, konsultasi hukum dan penyerahan produk yang dikemas dalam satu misi justice for all. Layanan ini pertama kalinya dilaksanakan dan diperkenalkan kepada masyarakat. Melalui inovasi ini, masyarakat yang berdomisili di wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Donggala dapat memperoleh informasi-informasi terkait bagaimana berperkara di Pengadilan Agama. Melalui inovasi ini Pengadilan Agama Donggala juga mensosialisasikan rumusan hasil kamar agama sebagaimana pembahasan di atas.
A. REFERENSI
Berger,PeterL.InvitationtoSociologi:AHumanisticProspective,Terj. Daniel Dhakidae.Jakarta:IntiSaranaAksara, 1992.
Campbell,Tom.TujuhTeoriSosial(Sketsa,PenilaiandanPerbandingan),Yogyakarta:Kanisius,1994.
Dirksen,AA NGede.Pengantar IlmuHukum. FakultasHukum UniversitasUdayana, 2009.
Kusumaatmadja,Mochtar.Hukum,Masyarakat,danPembangunan. Bandung:BinaCipta,1990.
Rahardjo,Satjipto.IlmuHukum(Cet. Keenam),Bandung:Citra AdityaBakti,2006.
Rasjidi,Lili danIraThania Rasjidi.Dasar-dasarFilsafatdanTeori Hukum.Bandung:CitraAdityaBakti,2007.
Rasjidi,Lilidan Ira Thania Rasjidi.Pengantar FilsafatHukum. Bandung:MandarMaju,2002.
Rahardjo,Satjipto.PemanfaatanIlmuSosialBagiPengembanganIlmu Hukum, Bandung, Alumni, 1977.[1] LiliRasjididanIraThaniaRasjidi, Dasar-dasarFilsafatdanTeoriHukum(Bandung: CitraAdityaBakti,2007), 74.
[2] Ibid.
[3] Ibid, 75
[4] SatjiptoRaharjo, IlmuHukum (Bandung: CitraAdityaBakti,2006), 206.
[5] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat,dan Pembangunan(Bandung: Binacipta,1990), 10.
[6] Ibid,
[8] Ibid.
[9] AAN GedeDirksen,PengantarIlmuHukum, (DiktatUntukKalanganSendiriTidak Diperdagangkan FakultasHukumUniversitasUdayana, 2009) 89.
[10] SoerjonoSoekanto,Pokok-Pokok SosiologiHukum(Jakarta:RajawaliPers,2009), 135
[11] Ibid.
[12] Raharjo, Ilmu Hukum, 206
[13] Ibid.
[14] A. G. Peters dalam Ronny Hanitijo Soemitro, , StudyHukum danMasyarakat (Bandung: Alumni, 1998), 10.
[15] PeterL.Berger,InvitationtoSociologi:AHumanisticProspective,Terj.Daniel Dhakidae(Jakarta:IntiSaranaAksara,1992), 98.
[16] TomCampbell,TujuhTeoriSosial(Sketsa,PenilaiandanPerbandingan), (Yogyakarta: Kanisius,1994), 220-230.
[17] Satjipto Rahardjo. PemanfaatanIlmu SosialBagiPengembangan Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1977), 66.