v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#default#VML);} 120 Normal 0 false false false false EN-US X-NONE X-NONE /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Calibri; mso-bidi-theme-font:minor-latin;}
KEDUDUKAN NINIAK MAMAK DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
OLEH: M. RIFAI, SHI., MHI.
(KETUA PENGADILAN AGAMA PULAU PUNJUNG)
A. Latar Belakang
Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[1] Kebudayaan di Indonesia mengalami perjalanan yang panjang dan
dipenuhi oleh beberapa kebudayaan yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan
kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia sehingga kebudayaan itu menjelma
menjadi kebudayaan yang sekarang dan mengakar. Di antara kebudayaan yang
berpengaruh adalah Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Khonghucu serta kebudayaan dari
barat.
Kebudayaan terdiri dari banyak hal diantaranya adalah perkawinan.
Perkawinan dari beberapa daerah beraneka ragam pelaksanaan dan upacara
adatnya tetapi sebenarnya mempunyai maksud yang sama. Perkawinan banyak
yang menggunakan dari agama Islam karena masyarakat Indonesia mayoritas
beragama Islam. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) sakinah mawaddah warahmah (yang bahagia dan kekal),
sehingga dalam kehidupan yang dialam ini dapat berkembang dengan baik. Dalam
perkawinan mempunyai tatacara dan syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda di
setiap daerah serta harus terpenuhi dalam pelaksanaanya.[2]
Hukum adat adalah aturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan
perkembang di dalam masyarakat sebagai norma atau aturan yang mengikat dan
mempunyai sanksi sosial yang tegas. Aturan tata tertib dan adat-istiadat
perkawinan yang sudah ada sejak dahulu kala dan sampai sekarang masih banyak
yang dipertahankan oleh para masyarakat, pemuka agama dan atau para pemuka
masyarakat adat. Aturan tersebut lama-kelamaan terus direvisi dan berkembang
dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintah. Kenyataan di dalam
masyarakat Indonesia yang mempunyai beraneka ragam adat-istiadat yang
berbeda antara satu dan lainnya menjadikan pelaksanaan tata upacara perkawinan
adat tiap daerah menjadi berbeda pula. Perbedaan pelaksanaan tata upacara
perkawinan ini didorong oleh para masyarakat yang memegang teguh
kebudayaan dari niniak moyang, dengan prinsip jangan sampai adat-istiadat
mereka punah dan perlu dilestariakan.
Di dalam kehidupan ini perkawinan merupakan masalah yang sangat
penting dalam melangsungkan kehidupan keluarga, kerabat, derajat dan bangsa
serta masyarakat Indonesia pada umunya. Menurut hukum adat masalah
perkawinan bukan hanya menjadi masalah yang akan melangsungkan perkawinan saja, tetapi juga masalah keluarga, kerabat, derajat dan masyarakat.[3]
Kita ketahui bersama bahwa adat-istiadat yang berlaku di Minangkabau adalah kehidupan mereka dengan sistim kekerabatan matrilineal. Adat-istiadat di Minangkabau ketika akan mengadakan acara pernikahan maka yang berperan aktif adalah Mamak (paman laki-laki dari saudara ibu).
Dari uraian latar belakang tersebut di atas penulis ingin mengajak para pembaca bahwa kedudukan Mamak dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama harus mempunyai peran yang aktif seperti dalam pelaksanaan pernikahan yang berlaku di adat-istiadat Minangkabau.
B. Pembahasan
Manusia diciptakan sebagai makluk social dan pada dasarnya manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat tentunya tidak selalu mulus dan kadang-kadang menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai (mediasi), tetapi adakalanya konflik tersebut sampai berlarut-larut sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Prosedur dalam mengajukan hak-haknya yang merasa terganggu atau dirugikan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan 29 Desember 1989, sejak itu hukum acara peradilan menjadi konkret sehingga akan memudahkan proses jalannya sidang. Hukum acara dalam peradilan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 54 bahwa: “hukum acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.[4]
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, yang berfungsi dan struktur susunan kekuasaan peradilan agama disempurnakan dan ditegakkan secara “murni” tanpa campur tangan lingkungan Peradilan Umum.[5] Sehingga sangat jelas yang menjadi kewenangan absolut pada bidang hukum perdata antara peradilan agama dan peradilan umum yang selama ini sering terjadi titik singgung kewenangan mengadili.
Dalam peradilan agama terdapat dua kewenangan absolute dan kewenangan relatif. Kewenangan absolute yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan dilingkungan peradilan agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu yaitu orang-orang yang beragama Islam.[6] Kewenangan relatif merupakan kekuasaan Peradilan Agama dalam mengadili berdasarkan wilayah atau daerah.[7]
Kekuasaan absolute telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49, yang secara tegas menggariskan bahwa garis batas wilayah hukum bidang-bidang perdata yang menjadi wewenang Peradilan Agama adalah bidang-bidang perkawinan, kewarisan, Hibah, wakaf dan shadaqah bagi golongan rakyat yang beragama Islam.[8]
Untuk menjelaskan pentingnya suatu lembaga peradilan agama, Allah SWT telah memerintahkan Nabi-Nya untuk membimbing dan agar memutuskan hukum dengan apa yang ia turunkan kepadanya, sebagaimana firman Allah SWT.[9]
…اللَّهُ أَنزَلَ بِمَا بَيْنَهُم أَحْكُم وَأَنِ
Artinya: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Maidah Ayat 49)[10]
Dalam ayat lain Allah juga memperingatkan tentang pentingnya peradilan agama, yaitu terdapat dalam surat Shaad ayat 26 Allah SWT berfirman :

Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad Ayat 26)[11]
Dari pernyataan di atas sudah nampak jelas disebutkan bahwa ketika orang Islam mau menyelesaikan permasalahan mengenai perdata maka Pengadilan Agama yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, dan untuk mewujudkan hal tersebut mengenai masalah perdata, orang harus mengetahui bagaimana orang harus bertindak di muka Pengadilan dan bagaimana cara Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan perdata.[12]
Dalam hal ini, perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus. Hukum acara khusus ini meliputi kompetensi relatif Pengadilan Agama, pemanggilan, pemeriksan, pembuktian, biaya perkara, serta pelaksanaan putusan. Kaitannya dengan hal ini hakim mempunyai peranan penting, Karena hakim tersebut bertindak sebagai pemimpin proses jalanya sidang dalam pengambilan putusan suatu perkara yang adil seadilnya bagi pihak yang berperkara.[13] Dua kewenangan ini yaitu absolute dan relative yang menjadi pokok awal bagi hakim dalam memeriksa suatu perkara yang harus diputus.
Peradilan Agama merupakan suatu wadah masyarakat dalam menyelesaikan suatu perkara perdata. Di antaranya yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara. Fungsi dari peradilan agama itu sendiri yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan.[14]
Berdasarkan paparan di atas, maka kita renungkan kembali tentang hukum yang berlaku sekarang ini, dan sejauh mana masyarakat mengerti, memahami mengenai proses penyelesaian perkara di peradilan agama tentang masalah hukum acara perdata khususnya di Pengadilan Agama.
Sebagai renungan tentang hukum di sini adalah bagaimana orang merasa haknya dalam suatu perhubungan terlanggar, pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri. Untuk mencapai hal tersebut maka pelaksanaan hak itu (eigen richting), maka di sini badan pemerintah antara lain dan terutama pengadilan yang harus menjadi perantara agar hak-haknya dan kewajibannya seseorang dalam masyarakat terlaksana.[15]
Dengan adanya larangan bertindak sendiri maka sebaliknya harus ada jaminan bahwa dengan perantaraan badan-badan pemerintah, terutama Pengadilan dapatlah dilaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang pada pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat. Disinilah letak kepentingan adanya hukum acara perdata bagi masyarakat.
Hukum acara perdata ini menunjukan jalan yang harus dilalui oleh orang agar permasalahan yang bersangkutan dapat dijalankan, sehingga tercapailah maksud orang itu yaitu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk kepentingan orang yang menggugat.
Sifat hukum acara perdata di Indonesia semestinya harus sesuai dengan sifat rakyat Indonesia dalam memohon peradilan pada umumnya yaitu peradilan dengan cara sederhana, cepat dan biaya ringan. Di sini dasar peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yakni pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 ayat 2.[16]
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan juga diatur dalam Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 dalam pasal 57 ayat 3 berbunyi “Peradilan dilakukan dengan sederhana cepat dan biaya ringan” serta dalam pasal 58 ayat 2 berbunyi “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.[17]
Nampak sudah untaian Undang-undang menjelaskan setiap pencari keadilan dan kebenaran dengan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal yang sangat penting adalah Penerapan asas tersebut yang merupakan dambaan bagi setiap insan pencari keadilan. Namun demikian, penerapan asas tersebut bukan tanpa hambatan dan halangan. Ada beberapa perkara yang masuk di pengadilan agama dalam penanganan kasusnya memerlukan waktu yang lama melebihi dari batas waktu yang sewajarnya. Sehingga hal ini berdampak kepada biaya yang dikeluarkan lebih mahal dan jelas bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Dari paparan di atas, mengindikasikan bahwa penerapan asas “cepat” dalam asas yang menjadi landasan dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman tepatnya pasal 4 ayat 2 dan pasal 5 ayat 2 belum sepenuhnya bisa terealisasikan. Meskipun ada beberapa perkara yang penanganannya tidak membutuhkan waktu yang lama.
Adat-istiadat pernikahan Minangkabau merupakan salah satu dari sekian banyak pernikahan adat disetiap daerah di Indonesia. Pepatah adat Minang kabau menjelaskan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” Berpilin antara adat dan agama Islam membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelasanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dilaksanakan secara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap suatu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekuensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan. Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama walau tak pernah diundangkan tetapi sangat berat dan kadang kala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatukan oleh Pangadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Hukuman itu kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dalam pergaulan masyarakat Minang.[18]
Setelah hubungan suami istri semakin rapat dan kehidupan keluarga samande tergantung pada harta penghasilan suami (sumando). Mamak mulai melepaskan tanggung jawabnya terhadap kemenakan dan saudara perempuan. Pemilihan jodoh kemenakan, diambil alih oleh sumando serta saudara perempuan dalam keluarga samande, sedangkan baralek (peresmian pernikahan) dilaksanakan oleh mamak yang dipimpin oleh penghulu suku (pemimpin suku). Apabila kemenakan perempuan telah menginjak dewasa dan sudah waktunya untuk menikah, sumando dan saudara perempuan mulai memikirkan calon menentunya. Dewasa ini remaja laki-laki dan perempuan sebelum memutuskan untuk menikah telah berkenalan terlebih dahulu. Apabila persetujuan untuk berumah tangga sudah ditemukan, pembicaraan dilanjutkan kepada mamak-mamak serta ibu-ibu anggota rumah gadang. Waktu berlangsungnya acara timbang tando (tukar cincin) serta pernikahan, mamak tungganai, mamak lainnya serta sumando yang dipimpin oleh ninik mamak (penghulu) pergi ke rumah calon mempelai laki-laki dengan membawa pinangan berupa cincin emas. Dalam acara tersebut, mamak tungganai dan mamak lainnya dipimpin oleh penghulu memperbincangkan sangsi bagi calon mempelai yang mengingkari janji untuk menikah, jadwal pernikahan dan peresmiannya.[19]
Sebelum timbang tando diadakan, mamak tungganai memerintahkan kepada saudara laki-laki serta perempuan untuk mengundang pasumandan (istri saudara laki-laki), bako (keluarga bapak) serta anggota keluarga lainnya. Saudara perempuan mengundang kerabat perempuan. Sedangkan laki-laki mengundang kerabat laki-laki pula. Setelah pesta timbang tando cincin sebagai tanda ikatan dua keluarga untuk saling menyetujui menikahkan anak laki-laki dan perempuannya, dipegang oleh penghulu masing-masing calon mempelai. Apabila salah satu fihak tidak menepati janji, permasalahan tersebut diselesasikan oleh kedua penghulu dengan sangsi laki-laki hilang tando (cincin), sedangkan bagi perempuan didenda dua kali lipat harga tando (cincin) tersebut.[20]
Sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dalam acara timbang tando untuk melaksanakan pernikahan dan baralek sebagai peresmiannya. Lima belas hari sebelum acara berlangsung mamak yang dituakan (tungganai) memerintahkan kepada kemenakan perempuan dan laki-laki atau saudara perempuan atau laki-laki yang sudah dewasa untuk memberi tahu kembali kepada sumando, bako-baki, kerabat sasuku dan sapasukuaan serta kerabat lainnya untuk menghadiri acara perhelatan peresmiaan pernikahan. Proses pelaksanaan pernikahan serta peresmiannya di Minangkabau tidak jauh berbeda dengan masa silam.[21]
Kebutuhan baralek atau pesta peresmiaan pernikahan, masa silam dibiayai oleh mamak tungganai dari pengelolaaan harta pusaka. Dewasa ini pembiayaan baralek merupakan kewajiban dari orang tua. Sedangkan pekerjaan berat dalam proses baralek dilakukan dengan memanggil orang luar untuk mencuci piriang yang dulunya dilakukan secara bergotong royong oleh perempuan keluarga saparuik (satu niniak), dan sekampuang. Kebiasaan masyarakat Minangkabau masa silam, memanggil sumando dengan gelar pusako yang disebut dengan sako dari keluarga laki-laki yang sudah menikah tersebut. Sesuai dengan ungkapan : ketek banama, gadang bagala (kecil bernama dan besar bergelar). Dewasa ini masyarakat cenderung memanggil nama dibanding dengan gelar (sako). Gelar dipakai dalam upacara adat seperti baralek dan batimbang tando.[22] Dari pemaparan tersebut di atas tergambar bahwa kedudukan niniak mamak dalam adat Minangkabau sebuah pernikahan mempunyai peran yang sangat penting.
Kemudian dalam proses perceraian di Pengadilan Agama ada prinsip persulit perceraian, maka berangkat dari prinsip tersebut maka alangkah baiknya niniak mamak dilibatkan dalam proses perceraian bahkan bisa kita jadikan sebagai hakaim untuk mendamaikan antara pihak yang akan bercerai dan sesuai pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan lex specialis dari pasal 145 dan 146 HIR/172 Rbg. Dan pada kesimpulannya, ia berpendapat bahwa saksi keluarga hanya boleh digunakan atas perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.
C. Kesimpulan
Karena niniak mamak di dalam adat Minangkabau ditempatkan posisi yang sangat terhormat ketika melaksanakan prosesi adat pernikahan Minangkabau, maka hendaknya dalam proses penyelesaian konflik rumah tangga dilakukan juga secara maksimal upaya perdamaian oleh niniak mamak dari pasangan suami isteri.
Kita sebagai warga Peradilan Agama yang berwenang menyelesaikan perkara perceraian khususnya hakim yang memeriksa perkara-perkara perceraian mungkin lebih baik apabila dalam pemeriksaan perkara perceraian melibat niniak mamak untuk menjadi saksi dalam perkara perceraian tersebut, bahkan kalau bisa dijadikan sebagai Hakamain untuk mendamaikan antara suami dan isteri yang mempunyai permasalahan dalam rumah tangganya.
Sehingga peran niniak mamak bukan hanya ketika akan melangsungkan prosesi pernikahan saja, akan tetapi yang lebih terpenting adalah bagaimana peran niniak mamak tersebut dalam menjaga atau memberikan nasehat untuk keutuhan rumah tangga pasangan suami isteri agar tidak terjadi perceraian. Karena kalau terjadi perceraian dampaknya banyak bisa saja hubungan kekerabatan bisa tidak baik belum lagi dampak yang timbulkan terhadap anak-anak yang kedua orangtuanya bercerai.
Maka dari itu penulis mengajak kita semua khususnya hakim agar melibatkan niniak mamak dalam memeriksa perkara-perkara perceraian yang kita tangani, sehingga betul-betul upaya perdamaian secara maksimal sudah terlaksana, meskipun pada akhirnya para pihak yang pada pokoknya tetap mau bercerai kita putus cerai apabila terbukti dalil-dalilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002)
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, edisi revisi (Jakarta: Kencana, 2005)
Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Wewenang PA), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002)
Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012)
Ach. Zayyadi, Hukum Acara Perdata (Diktat Pada Mata Kuliah Hukum Perdata)
Bakrie A Rachman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut hukum Islam, UU
Perkawinan dan BW, (Jakarta: PT Hida Karya Agung, 1991)
Departemen Agama RI, QS. Al-Maidah Ayat 49
Firman. Posisi dan Fungsi Mamak dalam Perubahan Sosial di Lingkungan Keluarga Matrilinial Minangkabau, (Padang: Universitas Negeri Padang, 2004)
Koentjaraningrat, Pengatar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT, Rineka Cipta, 1990)
Mustofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005)
R. Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: PT Sumur, 1992)
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru),(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Ter Haar bzn, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1987)
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Rafika, 2005)
Undang-undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Bandung: Pt Fokus Media, Cet 1, 2004)
http://wensphotography.at.ua/blog/tata_cara_pernikahan_adat_minangkabau_baralek_gadang/2010-06-05
[1] Koentjaraningrat, Pengatar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT, Rineka Cipta, 1990), hlm. 180
[2]Bakrie A Rachman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut hukum Islam, UU
Perkawinan dan BW, (Jakarta: PT Hida Karya Agung, 1991), hlm. 7
[3]Ter Haar bzn, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1987), hlm. 189.
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, edisi revisi (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 21.
[5] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Rafika, 2005), hlm. 16.
[6] Abdullah Tri Wahyuni, Peradilan Agama Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 91
[7] Mustofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 11.
[8] Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Wewenang PA), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9
[9] A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012), hlm. 136.
[10] Departemen Agama RI, QS. Al-Maidah Ayat 49
[11] Departemen Agama RI, Al Qur’an, QS. Shaad Ayat 6.
[12] R. Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: PT Sumur, 1992), hlm. 13.
[13] Ach. Zayyadi, Hukum Acara Perdata (Diktat Pada Mata Kuliah Hukum Perdata), hlm. 22.
[14] Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru),(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 20.
[15] Wiryono Projodikoro, Hukum Acara Perdata, hlm.13.
[16]Undang-undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Bandung: Pt Fokus Media, Cet 1, 2004), hlm. 3
[17]Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 222
[18] http://wensphotography.at.ua/blog/tata_cara_pernikahan_adat_minangkabau_baralek_gadang/2010-06-05
[19]Firman. Posisi dan Fungsi Mamak dalam Perubahan Sosial di Lingkungan Keluarga Matrilinial Minangkabau, (Padang: Universitas Negeri Padang, 2004, hlm.20-22)
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid