(021) 29079214
info@badilag.net

Penerapan Teori Pro Legem dan Contra Legem dalam Putusan Hak Asuh Anak: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Substantif

Oleh:

Aman, S.Ag., S.E., S.H., M.H., M.M* dan Prof. Dr. Hj. Linda Firdawati, M.H**

*Wakil Ketua Pengadilan Agama Baturaja Kelas IA, **Guru Besar UIN Raden Intan Lampung

Korespondensi: *This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it., **This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Pendahuluan

Perceraian kerap menimbulkan persoalan kompleks, salah satunya mengenai hak asuh anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hak asuh terhadap anak yang belum mumayyiz pada prinsipnya berada di tangan ibu (Indonesia, 1974; Instruksi Presiden RI, 1991). Namun dalam praktik, hakim tidak selalu mengikuti ketentuan tersebut. Terdapat sejumlah putusan yang justru menyerahkan hak asuh kepada ayah dengan pertimbangan demi kepentingan terbaik anak (Aziz, 2017). Kondisi ini memperlihatkan adanya ruang interpretasi bagi hakim, baik melalui penafsiran yang berpegang pada teks hukum (pro legem), maupun penafsiran yang lebih substantif (contra legem) (Syarifuddin, 2019). Hadhanah atau hak asuh anak merupakan isu sentral dalam hukum keluarga di Indonesia. Secara normatif, pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, serta dalam KHI (Indonesia, 2019; Instruksi Presiden RI, 1991). Kedua instrumen hukum tersebut menegaskan bahwa anak yang belum mumayyiz (belum mampu membedakan baik dan buruk) diasumsikan lebih tepat berada dalam pengasuhan ibu, mengingat kedekatan emosional serta perhatian intensif yang diberikan terhadap perkembangan anak (Huda, 2018). Meski demikian, realitas pengadilan menunjukkan adanya putusan berbeda, misalnya dalam Putusan Pengadilan Agama Baturaja Nomor 330/Pdt.G/2024 PA. Bta, Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1391/Pdt.G/2024/PA.Dpk, serta Putusan Pengadilan Agama Parigi Nomor 27/Pdt.P/2025/PA.Prgi. Fenomena ini menimbulkan persoalan akademis mengenai dasar pertimbangan hakim yang tidak semata-mata berpegang pada ketentuan normatif, melainkan mengutamakan prinsip kemaslahatan anak (Huda, 2018).

Selengkapnya