“ POTRET REVOLUSI LEMBAGA PERADILAN INDONESIA DI ERA 4.0 “
Oleh : Azalia Purbayanti Sabana, S.H., M.H
Calon Hakim Pengadilan Agama Jember
A. Kekuasaan Kehakiman antara Isu Independensi dan Kepercayaan Publik
Diskursus tentang adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dapat dilepaskan dari gagasan negara hukum. Sebab ide perihal kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum. Keduanya sama-sama menekankan pada pentingnya pembatasan kekuasaan negara. Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam negara haruskah dipisah dan dibagi ke dalam kekuasaan mengenai bidang tertentu. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara demokrasi dan negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak.[1]
Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hasil Perubahan Ketiga berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu prinsip
dalam melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah dilakukannya pergeseran paham yang semula menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) beralih menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) yang salah satunya prinsipnya menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka”.[2] Pergeseran tersebut akan memberikan jaminan secara normatif-konstitusional bahwa para hakim akan terlindung dari intervensi kekuasaan, baik kekuasaan uang, politik, birokrasi dan kekuasaan lainnya yang dapat menjerumuskan hakim ke dalam praktek jual beli perkara.