“PROBLEMATIKA RETUR RELAAS PANGGILAN SURAT TERCATAT TERHADAP EFEKTIVITAS PENANGANAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA”
Oleh : Azalia Purbayanti Sabana,S.H.,M.H.
Calon Hakim Pengadilan Agama Jember
1. PENDAHULUAN
Setelah berlakunya PERMA Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik, maka pemanggilan dan pemberitahuan perkara dilakukan secara elektronik (e-summons).[1] Berdasarkan Pasal 15 PERMA Nomor 7 Tahun 2022 disebutkan bahwa pemanggilan atau pemberitahuan secara elektronik disampaikan kepada penggugat, tergugat atau para pihak yang domisili secara elektroniknya telah dicantumkan dalam gugatan, dan para pihak telah menyatakan persetujuannya, atau para pihak yang proses perkaranya telah dilakukan secara elektronik.[2] Namun, terhadap Tergugat atau Termohon atau pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki domisili elektronik maka panggilan dilakukan melalui surat tercatat sesuai dengan SEMA Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat.
Ketentuan panggilan melalui surat tercatat ini tidak lagi dilaksanakan oleh juru sita atau juru sita pengganti melainkan oleh PT POS Indonesia berdasarkan MOU antara Mahkamah Agung dengan PT POS Indonesia dalam hal pemanggilan melalui surat tercatat. Pada intinya pemanggilan melalui surat tercatat ini mengimplementasikan asas persidangan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam proses berperkara secara elektronik termasuk dalam proses pemanggilan. Dalam proses pemanggilan diupayakan biaya ringan karena pengiriman panggilan sidang dan pemberitahuan dilaksanakan dengan surat tercatat sehingga biaya panggilannya lebih ringan daripada melalui panggilan manual oleh jurusita, karena panggilan melalui jurusita harus berpedoman pada biaya panjar panggilan sesuai dengan jarak radius alamat para pihak. [3]