(021) 29079214
info@badilag.net

Dalam kaitannya dengan alat bukti surat, baik yang berupa surat akta maupun surat bukan akta, penting untuk dibahas bagaimana jika surat tersebut yang asli tidak ada, sehingga yang diajukan dalam persidangan hanyalah fotokopinya. Menurut M. Yahya Harahap, salinan, yang merupakan turunan dari suatu surat, hanya dapat dipercaya apabila sesuai dengan surat aslinya dan cara menguji adalah dengan menunjukkan aslinya. Jika salinan tersebut sesuai dengan aslinya maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan kekuatan pembuktian surat aslinya, yaitu berkekuatan sebagai pembuktian yang sempurna dan mengikat. Suatu salinan hanya menjadi permulaan pembuktian tulisan jika berupa turunan atau salinan akta otentik yang dibuat menurut minutnya bukan dikeluarkan notaris yang membuatnya, atau salinan sah dari salinan sah (Pasal 1889 ke-4 KUH Perdata, Pasal 302 ke-4 Rbg), atau salinan yang telah disangkal, atau salinan yang tidak diakui atau dibantah pihak lawan. Agar salinan yang hanya berupa permulaan pembuktian tulisan tersebut menjadi sempurna dan mengikat, salinan tersebut harus disesuaikan dengan aslinya atau sekiranya aslinya tidak ada lagi cara untuk membuktikan persamaan itu dapat dilakukan dengan bantuan alat bukti lain yaitu surat, saksi dan ahli.[3]

Menurut yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Sip/1974 tanggal 14 April 1976,52 Putusan Mahkamah Agung Nomor 3609 K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987,53 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2191 K/Pdt/2000 tanggal 14 Maret 2001,  dalam mengajukan fotokopi surat-surat sebagai alat bukti di dalam persidangan gugatan perdata di Pengadilan harus dinyatakan telah sesuai (dicocokkan) dengan aslinya. Bila tidak demikian, maka bukti surat berupa fotokopi tersebut merupakan alat bukti yang tidak sah dalam persidangan. Dari uraian tersebut, baik pendapat ahli maupun menurut yurisprudensi, dapat disimpulkan bahwa fotokopi merupakan suatu penggandaan tulisan/surat dan dapat diterima sebagai alat bukti tulisan/surat apabila telah dicocokkan dengan aslinya di persidangan.

Dalam praktik pembuktian alat bukti surat di Pengadilan Agama, untuk perkara yang bersifat contensiosa, apabila yang mengajukan bukti surat  berupa fotokopi akta otentik tidak dapat menunjukkan aslinya namun diakui oleh pihak lawan, maka kekuatan pembuktiannya tetap mengikat dan sempurna. Hal itu dikemukakan dalam Putusan MA No. 1937 K/Pdt/1984. Dikatakan pada fotokopi tersebut telah terdapat catatan yang berisi penegasan yang ditanda tangani hakim, bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Lagi pula sesuai dengan yang tercantum dalam berita acara, tergugat sendiri tidak keberatan atas surat bukti fotokopi tersebut.

Fotokopi akta otentik yang diajukan dalam pembuktian tidak dibedakan oleh majelis hakim apakah akta otentik tersebut bersifat hukum privat (perdata) maupun publik.  Hal ini menimbulkan suatu isu yang menarik dikarenakan keaslian suatu akta otentik di bidang hukum publik seharusnya bukan kewenangan dari pihak lawan untuk mengakuinya kecuali pihak lawan tersebut merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan akta otentik tersebut.

2.     Rumusan Permasalahan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah perbedaan bentuk akta otentik di bidang hukum publik dan bidang hukum privat atau perdata?
  2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian fotokopi akta otentik di bidang hukum publik yang tidak dapat dicocokkan dengan aslinya? 

B.    B. Pembahasan

1.    Perbedaan Bentuk Akta Otentik di Bidang Hukum Publik dan di Bidang Hukum Perdata

Pada Pasal 1866 KUH Perdata, urutan pertama alat bukti disebut bukti tulisan (schrifftelijke bewijs / written evidence). Ada juga yang menyebut alat bukti tulisan sebagai alat bukti surat. Seperti yang telah dijelaskan, dalam acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting dan paling utama dibanding dengan yang lain. Apalagi pada masa sekarang, semua tindakan hukum dicatat atau dituliskan dalam berbagai bentuk surat, yang disengaja dibuat untuk itu.[4]

M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa fungsi tulisan atau akta dari segi hukum pembuktian memiliki beberapa fungsi, antara lain[5]:

1.     1. Berfungsi sebagai formalitas kausa;

Surat atau akta tersebut berfungsi sebagai syarat atau keabsahan suatu tindakan hukum yang dilakukan. Apabila perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan tidak dengan surat atau akta, tindakan itu menurut hukum tidak sah, karena tidak memenuhi formalitas kausa.

2.     2. Berfungsi sebagai alat bukti; dan

Fungsi utama surat atau akta ialah sebagai alat bukti. Pasal 1864 KUH Perdata sendiri telah menetapkan sebagai alat bukti pada urutan pertama. Memang tujuan utama membuat akta diperuntukkan dan dipergunakan sebagai alat bukti.

3.     3. Fungsi probationis causa.

Surat atau akta yang bersangkutan merupakan satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suat hal atau peristiwa. Jadi keperluan atau fungsi akta itu merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanpa akta itu, peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta itu bersifat spesifik. Misalnya perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan (buku nikah).

Ketentuan mengenai alat bukti tertulis atau surat diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, Pasal 164, 285, 305 Rbg., atau Pasal 1867-1894 KUHPerdata. Alat bukti tertulis atau surat dibagi menjadi dua macam, yaitu akta dan bukan akta (surat biasa). Alat bukti surat yang berbentuk akta dibagi kembali menjadi dua, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan.

Mengenai akta otentik diatur dalam pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk di tempat akta dibuat.”

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa bukti surat yang dapat dikategorikan sebagai akta otentik harus memenuhi minimal lima unsur, yaitu[6]:

1.     Dibuat oleh atau di hadapan pejabat resmi atau yang berwenang;

2.     Ditujukan sebagai alat bukti;

3.     Bersifat partai (minimal 2 pihak);

4.     Atas permintaan para partai (para pihak); dan

5.     Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

Dari penjelasan pasal tersebut, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata:

  •  Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak diperlakukan sebagai akta otentik.
  • Namun akta yang demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta itu ditandatangani para pihak.

Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta otentik, merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). Oleh karena itu untuk melekatkan nilai kekuatan yang seperti itu pada akta otentik, harus terpenuhi secara terpadu kekuatan pembuktian yang disebut di bawah ini[7]:

a.    a. Kekuatan bukti luar

Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa akta itu bukan akta otentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksudnya, harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik. Sebaliknya jika dapat dibuktikan kepalsuannya, hilang atau gugur kekuatan bukti luar dimaksud sehingga tidak boleh diterima dan dinilai sebagai akta otentik.

Sesuai dengan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak yang berperkara wajib menganggap akta otentik sebagai akta otentik, sampai pihak lawan dapat membuktikan bahwa akta yang diajukan, bukan akta otentik karena pihak lawan dapat membuktikan adanya:

  • Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang, atau
  • tanda tangan pejabat di dalamnya adalah palsu, atau
  • Isi yang terdapat di dalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat.

Dari penjelasan di atas, kekuatan pembuktian luar akta otentik, melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta otentik harus dianggap benar sampai akta otentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.  

b.     b. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik dijelaskan Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik, dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan alau pernyataan yang terdapat di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta:

  • mengenai tanggal yang tertera di dalamnya;
  • tanggal tersebut harus dianggap benar;
  • berdasar kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan hakim.

Bertitik tolak dari kekuatan pembuktian yang digariskan Pasal 1871 KUH Perdata, dapat disimpulkan tidak hanya membuktikan secara formil kebenaran para pihak telah menerangkan hal-hal yang tercantum di dalamnya atau tertulis pada akta, tetapi juga meliputi bahwa yang diterangkan itu adalah benar.[8]

c.     c. Kekuatan pembuktian materiil

Mengenai kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan; benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik. Dan untuk menjelaskan hal itu, dapat dikemukakan prinsip berikut:

a.     Penanda tangan akta otentik untuk keuntungan pihak lain;

b.     Seseorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri;

c.  Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materiil akta otentik;

Ditinjau dari segi pembuatan, Pasal 1868 KUH Perdata mengenal dua bentuk cara mewujudkannya:

a.     Dibuat oleh pejabat

Bentuk pertama, dibuat oleh pejabat yang berwenang. Biasanya akta otentik yang dibuat oleh pejabat: .

  • Meliputi akta otentik di bidang hukum publik;
  • yang membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara (pejabat TUN).

Akta yang dibuat oleh pejabat ini merupakan akta-akta otentik tertentu yang tidak bersifat partai, yaitu akta yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan fungsi kewenangannya.[9] Salah satunya adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil daerah tertentu.

b.     Dibuat di hadapan pejabat

Kalau bentuk yang pertama dibuat oleh pejabat yang berwenang, bentuk yang kedua dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Pada umumnya akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat:

  • meliputi hal-hal yang berkenaan dalam bidang hukum perdata dan bisnis,
  • biasanya berupa akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi para pihak yang datang menghadap dan menandatanganinya;
  • caranya, para pihak yang berkepentingan datang menghadap pejabat yang berwenang, dan kepada pejabat itu mereka sampaikan keterangan serta meminta agar keterangan itu dituangkan dalam bentuk akta.

Pejabat yang berwenang membuat akta otentik agak sejalan dengan bidang hukum yang bersangkutan dengan akta itu sendiri meskipun hal itu tidak bersifat mutlak, sebab ada juga akta di bidang perdata dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Misalnya akta nikah. Meskipun pada dasarnya termasuk bidang hukum perdata, undang-undang menentukan pembuatnya harus di hadapan pejabat tata usaha negara, yakni Pegawai Pejabat Perkawinan (Kepala Kantor Urusan Agama atau Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Terlepas dari hal tersebut, pada garis besarnya pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah sebagai berikut:[10]

a.     a. Di bidang hukum publik oleh pejabat tata usaha negara

Seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), lzin Pergudangan, Paspor dan sebagainya. semuanya dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Namun demikian seperti yang dijelaskan di atas, ada juga akta otentik tertentu yang dibuat oleh pejabat yudikatif, seperti berita acara sidang, surat penanggalan, berita acara sita, akta banding atau kasasi, yang dibuat oleh panitera atau juru sita, penetapan atau putusan pengadilan yang dibuat oleh hakim yang memeriksa perkara.

b.    b. Di bidang hukum perdata oleh notaris

Pada umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata, dibuat di hadapan notaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain.

2.  Kekuatan Pembuktian Fotokopi Akta Otentik di Bidang Hukum Publik yang Tidak Dapat Dicocokkan Dengan Aslinya

Pada prinsipnya kekuatan pembuktian alat bukti tulisan ada pada akta aslinya. Hal ini ditegaskan Pasal 1888 KUH Perdata atau Pasal 301 RBG sebagaimana yang dirumuskan pada ayat (l), yang berbunyi: Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Suatu salinan surat hampir sama dengan fotokopi. Menurut M. Yahya Harahap, jika dibandingkan dengan salinan, fotokopi hampir tidak ada bedanya. Namun, hukum pembuktian memberikan penilaian dan penghargaan kepada salinan jauh lebih tinggi daripada fotokopi, yang dapat dilihat dalam Pasal 1889 KUH Perdata dan Pasal 302 Rbg. Sedangkan pada fotokopi, belum ada ketentuan yang mengakomodasi penilaiannya. Pada umumnya, keabsahan identiknya fotokopi dengan aslinya diakui apabila para pihak dapat menunjukkan surat aslinya.[11] Sudikno Mertokusumo, dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/Sip/1974, mengemukakan penerimaan fotokopi sebagai alat bukti jika disertai “keterangan atau dengan cara apapun secara sah ternyata bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya”.[12] Putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 tanggal 17/9/1998 juga menetapkan hal yang sama, bahwa fotokopi surat sebagai “alat bukti surat” yang tidak disertai atau dicocokkan dengan aslinya atau tanpa didukung oleh keterangan saksi dan/atau alat bukti lainnya, maka bukan termasuk alat bukti yang sah.[13]

Cara yang paling efektif membuktikan salinan benar sama dengan aslinya adalah:

a.          Memperlihatkan dan menunjukkan aslinya di persidangan, apabila aslinya masih ada;

b.          Jika aslinya tidak ada, dapat dipergunakan alat bukti lain.

Sekiranya aslinya tidak ada lagi, cara untuk membuktikan persamaan itu dapat dilakukan dengan bantuan alat bukti lain. Akan tetapi, tidak semua alat bukti dapat dipergunakan karena hanya terbatas pada:

-          alat bukti surat,

-          pengakuan,

-          saksi, dan

-          saksi ahli.

Alat bukti sumpah, tidak dibenarkan, karena dalam hal yang demikian alat bukti ini tidak layak dipergunakan, karena dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Bagi seorang yang curang dan beriktikad buruk, apalagi bermoral rendah, dapat memanfaatkan sumpah tersebut untuk mengesahkan salinan palsu.[14]

Demikian penegasan Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 yang mengatakan, surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti' Penerapan ini benar-benar merujuk kepada ketentuan Pasal 1888 KUH Perdata, yang menentukan:

-       kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya,

-    apabila akta asli itu ada, maka salinan serta ikhtisar hanya dapat dipercaya, apabila salinan dan ikhtisar sesuai dengan aslinya dan senantiasa dapat diperintahkan untuk menunjukkan aslinya tersebut.

Sehingga apabila aslinya dapat ditunjukkan, fotokopi sah sebagai alat bukti tulisan. Tetapi jika tidak dapat ditunjukkan aslinya di sidang pengadilan, fotokopi tidak sah sebagai alat bukti tulisan.

Lalu dalam praktik, seringkali dijumpai pihak yang yang menghadirkan bukti tulisan tidak dapat menunjukkan dokumen aslinya dikarenakan berbagai alasan. Alat bukti surat tersebut masih dapat sah dijadikan sebagai alat bukti apabila diakui oleh pihak lawan. Hal itu dikemukakan dalam Putusan MA No. 1937 K/Pdt/1984. Dikatakan pada fotokopi tersebut telah terdapat catatan yang berisi penegasan yang ditanda tangani hakim, bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Lagi pula sesuai dengan yang tercantum dalam berita acara, tergugat sendiri tidak keberatan atas surat bukti fotokopi tersebut.

Bertitik tolak dari putusan yang dikemukakan di atas, penerapan keabsahan fotokopi sebagai alat bukti tulisan.

a.     a. apabila fotokopi tersebut sama dengan aslinya dengan cara menunjukkan asli tersebut di sidang pengadilan;

b.  b. apabila fotokopi itu diakui atau disetujui pihak lawan dianggap sah, meskipun tidak ditunjukkan aslinya di persidangan.

Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H menambahkan bahwa bukan sekedar tidak dibantah. fotokopi akta otentik yang tidak dapat dicocokkan dengan aslinya maka mempunyai kekuatan mengikat dan sempurna apabila diakui atau disetujui oleh pihak lawan dan bukan sekadar tidak dibantah oleh pihak lawan.[15]

Namun, menurut penulis pengakuan dari pihak lawan terhadap pihak lawan terhadap fotokopi akta otentik harus dipahami oleh majelis hakim sampai pada taraf pejabat yang berwenang membuat akta otentiknya. Sebagaimana yang dijelaskan di bab sebelumnya bahwa pada garis besarnya pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah pejabat tata usaha negara untuk akta di bidang hukum publik dan notaris untuk akta di bidang hukum perdata. Sehingga, ketika majelis hakim dihadapkan dengan alat bukti surat berupa akta otentik, harus diperhatikan terlebih dahulu siapa pejabat yang berwenang membuat akta otentik tersebut.

Pengakuan pihak lawan terhadap fotokopi akta otentik yang tidak dapat ditunjukkan aslinya hanya sesuai jika digunakan dalam hal akta otentik tersebut dibuat di hadapan pejabat yang berwenang di bidang hukum perdata seperti notaris. Hal ini dikarenakan dalam akta otentik di bidang hukum perdata atau privat di mana di dalamnya tertuang klausa-klausa yang merupakan hasil kesepakatan antara para pihak yang membuat akta tersebut, seperti contohnya dalam akta perjanjian jual beli. Pihak lawan dalam persidangan dapat mengakui isi akta perjanjian jual beli hanya jika pihak lawan tersebut merupakan pihak dan telah menandatangani perjanjian tersebut. Secara logika hukum, orang yang telah setuju dan menandatangani sebuah akta tentu memiliki hak untuk mengakui perbuatan hukum yang telah ia lakukan. 

Namun, menurut hemat penulis logika hukum yang sama tidak dapat diterapkan dalam  di bidang hukum publik yang dibuat oleh  pejabat tata usaha negara. Salah satu contoh akta otentik di bidang hukum publik yang umum diajukan dalam perkara di Pengadilan Agama adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil daerah tertentu. Dalam perkara hadhanah atau hak penguasaan anak contohnya, penggugat yang menyatakan menuntut penguasaan atas anak hasil dari perkawinan dengan tergugat mengajukan fotokopi akta kelahiran yang menunjukkan bahwa anak tersebut benar lahir pada perkawinan yang sah antara penggugat dan tergugat. Namun ketika penggugat tidak mampu menunjukkan asli akta kelahirannya karena alasan tertentu, maka tidak serta merta kekuatan pembuktian fotokopi akta kelahiran anak tersebut mengikat dan sempurna hanya dengan diakui oleh pihak lawan (tergugat). Hal ini dikarenakan akta kelahiran tersebut merupakan hasil akta dari pejabat tata usaha negara. Sehingga keaslian dari fotokopi akta kelahiran tersebut hanya  dapat dibuktikan dengan pengakuan pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan yakni Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang mengeluarkan dengan cara menunjukkan atau mencocokkan dengan register penerbitan akta kelahiran tersebut. Pengakuan akta otentik oleh pejabat tata usaha yang mengeluarkan akan mencegah adanya upaya penyelundupan hukum oleh para pihak dalam persidangan.

C.     C. Penutup

1.     Kesimpulan

Berdasarkan pejabat yang berwenang membuat, akta otentik dibedakan menjadi 2 yaitu akta otentik  di bidang hukum publik oleh pejabat tata usaha negara dan di bidang hukum perdata oleh notaris. Pada praktik di persidangan, ketika pihak mengajukan fotokopi alat bukti dan tidak dapat dicocokkan dengan aslinya karena alasan tertentu, maka hakim tetap dapat menerima alat bukti tersebut sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian mengikat dan sempurna apabila ada pengakuan dari pihak lawan. Pengakuan terhadap fotokopi akta otentik ini hanya cocok digunakan pada akta otentik yang dibuat di bidang hukum perdata dan privat. Pada akta otentik di bidang hukum publik hanya bisa diakui kebenarannya oleh pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan.

2.     Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis, maka Penulis dapat memberikan saran terkait pencocokan akta otentik di bidang hukum publik dengan aslinya adalah sebagai berikut:

a.    Hendaknya majelis hakim dalam menerima alat bukti fotokopi akta otentik harus memperhatikan dengan seksama apakah akta otentik di bidang publik atau perdata. Sehingga apabila ada pihak yang tidak dapat menunjukkan asli akta otentik di bidang hukum publik, maka tidak serta merta pengakuan lawan membuat fotokopi akta otentik tersebut mengikat dan sempurna.

b.  Ketua pengadilan hendaknya melakukan kerja sama dengan instansi tata usaha negara terkait, agar proses pembuktian pencocokan akta otentik di bidang hukum publik dapat terlaksana dengan efektif. 

Daftar Pustaka

 

Buku

Asnawi, M. Natsir, Hukum Acara Perdata – Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2019).

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000).

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, edisi ketujuh, 2006).

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977).

Jurnal

Sari, Devina PuspitaKekuatan Pembuktian Fotokopi Surat yang Tidak Dapat Dicocokkan dengan Aslinya dalam Perkara Perdata, Undang: Jurnal Hukum, Vol.2 No.2, 2019, hlm. 326.

Diskusi

Purwosusilo, Diskusi Temuan Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Perkara Kasasi Dan PK, disampaikan pada Pembinaan Tenaga Teknis Badan Peradilan Agama Jakarta, 17 Juni 2022.

 


[1]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993) hlm. 240.

[2] Devina Puspita Sari, Kekuatan Pembuktian Fotokopi Surat yang Tidak Dapat Dicocokkan dengan Aslinya dalam Perkara Perdata, Undang: Jurnal Hukum, Vol.2 No.2, 2019, hlm. 326.

[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 616-619.

[4] Ibid, hlm. 559.

[5]Ibid., hlm. 563.

[6]Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000), hlm. 241.

[7]Ibid., hlm. 566.

[8] Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), hlm. 28.

[9]M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata – Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2019), hlm. 436.

[10]M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 571.

[11] Ibid., hlm. 622.

[12] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, edisi ketujuh, 2006), hlm. 165.

[13] Putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996 tanggal 17 September 1998.

[14] M. Yahya Harahap, Op. Cit.,, hlm. 619.

[15] Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. , Diskusi Temuan Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Perkara Kasasi Dan PK, disampaikan pada Pembinaan Tenaga Teknis Badan Peradilan Agama Jakarta, 17 Juni 2022.