(021) 29079214
info@badilag.net

SYARAT KEISLAMAN DALAM PENENTUAN HAK ASUH ANAK (ḤAḌĀNAH)

Oleh:

H. Rifqi Qowiyul Iman, Lc., M.Si

(Hakim Pengadilan Agama Tais)

Artikel ini menelaah syarat keislaman dalam penentuan hak asuh anak (ḥaḍānah) melalui komparasi fikih dan hukum positif Indonesia. Jumhur (Syafi‘i, Hanbali, sebagian Maliki) mensyaratkan keislaman pengasuh demi ḥifẓ al-dīn; Hanafiyah dan pendapat masyhur dalam Malikiyah menekankan pendekatan fungsional berbasis asy-syafaqah dan kecakapan mengasuh, dengan pencabutan hak hanya jika terbukti ancaman nyata terhadap akidah/moral anak. Pada pengasuh laki-laki, Hanafiyah mensyaratkan kesatuan agama; Malikiyah memposisikan ḥaḍānah laki-laki sebagai derivatif. Hukum positif Indonesia (UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, KHI) tidak mensyaratkan kesamaan agama dan menempatkan asas kepentingan terbaik anak tanpa diskriminasi, serasi dengan CRC (Keppres 36/1990). Artikel berargumen keislaman patut diperlakukan sebagai parameter substantif—bukan syarat formil—untuk menilai kapasitas menjamin pendidikan, moral, dan pembinaan agama anak. Berbasis maqāṣid al-syarī‘ah, penentuan hak asuh anak sebaiknya melalui pembuktian kasuistik (taḥqīq al-manāṭ) dan prinsip proporsionalitas guna menyeimbangkan perlindungan akidah, hak keibuan, dan kepentingan terbaik anak, termasuk pada perkara pasca-cerai yang beririsan dengan riddah.


Selengkapnya